Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[Kabar Data] Mengurai Akar Masalah Korupsi Kepala Daerah

Kompas.com - 21/01/2022, 16:50 WIB
Bayu Galih

Penulis

KOMPAS.com - Kasus korupsi kepala daerah kembali menjadi permasalahan yang mengemuka setelah tiga operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu kurang dari satu bulan.

OTT yang dilakukan KPK itu menjerat tiga kepala daerah, yaitu Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas'ud, dan Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-angin.

KPK menangkap Rahmat pada 5 Januari 2022 di Kota Bekasi, Jawa Barat, atas dugaan suap pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan.

Sedangkan, Abdul Gafur Mas'ud ditangkap di sebuah mal di Jakarta Selatan pada 13 Januari 2022.

Dia dijerat KPK atas dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa serta perizinan di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Baca juga: Sederet Kepala Daerah yang Terjaring OTT KPK pada Awal 2022, Terbaru Bupati Langkat

Terbaru, KPK melakukan OTT terhadap Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin pada Selasa (18/1/2022).

Dia menjadi tersangka suap penerimaan hadiah atau janji terkait pekerjaan proyek di Langkat Tahun Anggaran 2020-2022.

Menjerat 167 kepala daerah

Penangkapan Rahmat Effendi, Abdul Gafur Mas'ud, dan Terbit Rencana Perangin-angin menambah jumlah kepala daerah yang terjerat kasus hukum di KPK.

Berdasarkan data yang ada di situs KPK, sejak lembaga anti-rasuah itu berdiri sudah ada 22 gubernur yang terkena penindakan.

Sedangkan, jumlah kepala daerah tingkat dua yang terjerat, jumlahnya jauh lebih banyak.

Hingga 1 Oktober 2021, KPK mencatat ada 141 bupati/wali kota, serta wakil bupati/wakil wali kota yang terkena penindakan.

Jumlah bupati/wali kota yang terkena penindakan KPK bertambah empat sejak 1 Oktober 2021 hingga saat ini.

Baca juga: KPK Setor Rp 843,3 Juta ke Kas Negara dari 3 Terpidana Kasus Korupsi

Selain tiga yang dijerat OTT pada Januari 2022, kepala daerah lain yang terjerat proses hukum di KPK adalah Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin.

KPK telah menetapkan dia sebagai tersangka terkait dugaan suap infrastruktur di wilayahnya pada 16 Oktober 2021.

Sehingga, total ada 167 kepala daerah yang terjerat proses hukum di KPK. Jumlah itu terdiri dari 22 gubernur dan 145 bupati/wali kota.

Berdasarkan dokumentasi Harian Kompas, kasus korupsi pertama di KPK yang melibatkan gubernur tercatat pada 2004. Saat itu, Gubernur Nangroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh terjerat dugaan suap pengadaan helikopter.

Adapun, bupati/wali kota pertama yang terjerat hukum di KPK adalah Bupati Dompu Abubakar Ahmad yang jadi tersangka pada 16 Juni 2006. Dia terjerat korupsi penyalahgunaan dana APBD sebesar Rp 4 miliar.

logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK.KOMPAS.com/DYLAN APRIALDO RACHMAN logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK.

Jumlah terbesar kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah terjadi pada 2018. Ketika itu KPK menjerat 2 gubernur dan 30 bupati/wali kota.

Adapun sejumlah nama kepala daerah populer yang terjerat kasus korupsi di KPK antara lain: Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan (2009), Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah (2013), Gubernur Riau Annas Maamun (2014).

Kemudian, ada Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho (2015), Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (2018), Gubernur Jambi Zumi Zola (2018), serta Nurdin Abdullah (2021).

Untuk daerah tingkat dua, nama kepala daerah populer yang dijerat KPK antara lain: Bupati Kutai Kertanegara Syaukani HR (2006), Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad (2009), Wali Kota Bandung Dada Rosada (2013), Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin (2014), Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari (2017)

Baca juga: Bupati PPU Jadi Kepala Daerah Keempat dari Kaltim yang Ditahan KPK

Tingginya biaya politik

Sejumlah korupsi yang dilakukan kepala daerah selama ini kerap dikaitkan dengan tingginya biaya politik, terutama uang yang keluar saat pemilihan kepala daerah atau pilkada.

Berdasarkan pemberitaan Kompas.id, hasil kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri pada Pilkada 2015 menunjukkan, biaya yang dikeluarkan untuk memenangi kontestasi pemilhan bupati/wali kota berkisar Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar.

Sementara untuk pilgub jumlahnya jauh lebih tinggi berkisar Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar.

Biaya politik itu jauh lebih besar daripada gaji rata-rata kepala daerah yang berkisar Rp 5 miliar selama satu periode.

Ketua KPK Firli Bahri pernah mengatakan bahwa berdasarkan data KPK pada 2020, 82,3 persen biaya pilkada masih berasal dari donatur atau sponsor.

Para calon kepala daerah, menurut dia, membutuhkan sokongan dana dari pihak ketiga karena harta yang mereka miliki tidak mencukupi untuk mengikuti kontestasi pilkada.

Bantuan itu, menurut Firli, tentu saja diberikan bukannya tanpa imbalan. Ada kepentingan tertentu di balik pemberian bantuan dana ke calon kepala daerah. Di sinilah potensi korupsi terjadi.

Baca juga: Biaya Politik 82,3 Persen Calon Kepala Daerah Dibantu Pihak Ketiga, Kekuasaan Digadaikan

Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, Wijayanto mengatakan, biaya politik yang tinggi ini merupakan dampak dari penyelenggaraan pilkada langsung.

Jika sebelumnya kepala daerah dipilih oleh partai politik, maka pilkada langsung memungkinkan biaya politik yang diberikan langsung kepada calon kepala daerah.

Menurut dia, ada imbalan yang diharapkan akan diperoleh donatur setelah calon yang dibiayai itu terpilih.

"Pilkada langsung memang diiringi maraknya politik uang. Ini juga dikonfirmasi dari penelitian yang dilakukan Espinall (Edward Espinall) atau (Burhanuddin) Muhtadi," ujar Wijayanto saat dihubungi Kompas.com pada 19 Januari 2021.

Apa yang menyebabkan biaya politik begitu tinggi?

Edward Aspinall dan Mada Sukmajati dalam buku Politik Uang di Indonesia (2015) memaparkan, ini terjadi akibat praktik politik uang dalam bentuk patronase dan klientelisme.

Patronase merupakan pemberian uang, barang, jasa, dan keuntungan ekonomi lain oleh kandidat kepada pemilih atau komunitas.

Bentuk patronase bisa berupa vote buying atau pembelian suara, pemberian hadiah, pelayanan dan aktivitas kepada pemilih, hingga proyek gentong babi seperti perbaikan infrastruktur untuk memikat pemilih yang dananya pakai APBD.

Ada juga klientelisme, yaitu hubungan kandidat dengan sejumlah pihak, dan kandidat yang bertindak sebagai patron itu diperlakukan layaknya klien.

Contoh hubungan klientelisme adalah ketika kandidat yang terpilih memberikan keuntungan kepada tim sukses atau jaringan yang membuatnya terpilih.

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Rangkai Masalah Korupsi Kepala Daerah

Praktik patronase dan klientelisme itu tentu saja membutuhkan dana besar. Patronase dan klientelisme itulah yang menyebabkan biaya politik menjadi tinggi.

Menurut Wijayanto, praktik politik uang seperti ini sulit dihentikan karena efektif untuk memenangkan pilkada.

"Dari berbagai riset, telah diungkapkan bahwa serangan fajar kepada pemilih memengaruhi pemilihan suara hingga 10 persen," ujar Wijayanto.

"Dalam pilkada, 10 persen ini signifikan, terutama jika persaingannya ketat," ujar peraih gelar doktor bidang media dan politik dari Universitas Leiden ini.

Saat kandidat kepala daerah butuh modal, akan ada pengusaha atau donatur yang bersedia memberikan dana besar. Namun, praktik politik seperti ini menyebabkan kepala daerah akan tersandera setelah terpilih.

"Uang harus kembali, politik ini memang butuh modal. Karena ada cukongnya, ada pemodal, hasilnya ketika terpilih maka kepala daerah tersandera," ujar dia.

Almas Sjafrina dari Indonesia Corruption Watch dalam artikel "Dampak Politik Uang terhadap Mahalnya Biaya Pemenangan Pemilu dan Korupsi Politik" kemudian memperlihatkan bahwa ada korelasi korupsi politik dengan pendanaan pemilu.

Sejumlah kasus yang diperlihatkan antara lain kasus yang menjerat Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno, Bupati Buol Amran Batalipu, Bupati Klaten Sri Hartini, hingga sejumlah anggota DPR yang dananya akan digunakan dalam pilkada. Baca selengkapnya di sini.

Lalu bagaimana untuk menghentikan praktik politik seperti ini?

Salah satu yang bisa dilakukan adalah pembenahan sistem politik, misalnya partai politik yang dibiayai oleh negara.

Jika telah dibiayai negara, salah satu konsekuensinya adalah partai politik harus memberikan pertanggungjawaban secara transparan kepada negara.

Sistem kepartaian saat ini juga menjadi sorotan ahli hukum tata negara yang juga Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari.

Dilansir dari Kompas.id, Feri memaparkan bahwa tidak adanya demokratisasi di internal partai menyebabkan munculnya kandidat kepala daerah berlandaskan biaya.

Jika proses penentuan calon di internal partai berlangsung demokratis, menurut Feri, tidak ada biaya, upaya untuk mengembalikan biaya politik besar bisa dikurangi.

"Partai mengharapkan kadernya menjadi ATM partai. Itu yang membuat kader terjebak dalam belenggu korupsi politik yang ada di Indonesia karena mereka dipaksa menjadi ATM di partai sekaligus mencari keuntungan atau mengembalikan biaya politik yang mereka sudah keluarkan," ujar Feri.

Dengan demikian, yang perlu dilakukan adalah diberlakukannya asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu keterbukaan, kecermatan, keadilan, dan lainnya, akan sulit bagi seseorang melakukan korupsi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[HOAKS] Foto Restoran Siap Saji Terbengkalai

[HOAKS] Foto Restoran Siap Saji Terbengkalai

Hoaks atau Fakta
Sejumlah Konten Hoaks Mencatut Timnas Indonesia di Piala Asia U23...

Sejumlah Konten Hoaks Mencatut Timnas Indonesia di Piala Asia U23...

Hoaks atau Fakta
[VIDEO] Beredar Hoaks Puan Maharani Promosikan Obat Nyeri Sendi

[VIDEO] Beredar Hoaks Puan Maharani Promosikan Obat Nyeri Sendi

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Pengurangan Populasi Jadi 800 Juta Jiwa pada 2030

[HOAKS] Pengurangan Populasi Jadi 800 Juta Jiwa pada 2030

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Konteks Keliru soal Video Unta Terjebak Banjir di Dubai

INFOGRAFIK: Konteks Keliru soal Video Unta Terjebak Banjir di Dubai

Hoaks atau Fakta
Kilas Balik Indonesia Juarai Piala Uber 1996, Taklukkan China di Final

Kilas Balik Indonesia Juarai Piala Uber 1996, Taklukkan China di Final

Sejarah dan Fakta
Lebih dari 2.100 Orang Ditangkap Selama Demo Pro-Palestina di AS

Lebih dari 2.100 Orang Ditangkap Selama Demo Pro-Palestina di AS

Data dan Fakta
[HOAKS] Komite Wasit AFC dan FIFA Rekomendasikan Laga Indonesia Vs Uzbekistan Diulang

[HOAKS] Komite Wasit AFC dan FIFA Rekomendasikan Laga Indonesia Vs Uzbekistan Diulang

Hoaks atau Fakta
Kematian Empat Mahasiswa AS Penentang Perang Vietnam pada 1970

Kematian Empat Mahasiswa AS Penentang Perang Vietnam pada 1970

Sejarah dan Fakta
[HOAKS] Saldi Isra Mundur dari Jabatan Hakim MK

[HOAKS] Saldi Isra Mundur dari Jabatan Hakim MK

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Disinformasi Bernada Satire soal Kematian Elon Musk

INFOGRAFIK: Disinformasi Bernada Satire soal Kematian Elon Musk

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Penjelasan soal Cairan Batang Pisang Berkhasiat Hancurkan Batu Ginjal

[KLARIFIKASI] Penjelasan soal Cairan Batang Pisang Berkhasiat Hancurkan Batu Ginjal

Hoaks atau Fakta
[VIDEO] Beredar Hoaks Uang Pembayaran Tol Masuk ke Rekening Pengusaha China

[VIDEO] Beredar Hoaks Uang Pembayaran Tol Masuk ke Rekening Pengusaha China

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Vaksin Covid-19 AstraZeneca Menyebabkan Kematian

[HOAKS] Vaksin Covid-19 AstraZeneca Menyebabkan Kematian

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Ronaldo Dukung Laga Indonesia Vs Uzbekistan Diulang

[HOAKS] Ronaldo Dukung Laga Indonesia Vs Uzbekistan Diulang

Hoaks atau Fakta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com