Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sudah Menipu Banyak Orang, Mengapa Dukun Pengganda Uang Masih Dipercaya?

KOMPAS.com - Kasus pembunuhan yang dilakukan Slamet Tohari, dukun pengganda uang asal Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah menghebohkan publik belakangan ini.

Pria berusia 45 tahun itu secara sadis membunuh sejumlah orang yang meminta bantuan untuk menggandakan uang kepadanya.

Para korban dibunuh setelah berkali-kali menagih hasil penggandaan uang yang dijanjikan Slamet. Total, hingga kini terdapat 12 orang yang dibunuh Slamet.

Jenazah para korban tersebut ditemukan terkubur di lahan perkebunan di Desa Balun, Kecamatan Wanayasa, Banjarnegara.

Cemas hidup

Kasus itu pun menambah panjang daftar penipuan dengan modus penggandaan uang yang terjadi di Indonesia. Kasus serupa berkali-kali terjadi, bahkan beberapa di antaranya juga berujung pada pembunuhan.

Sebelum terungkapnya kasus pembunuhan yang dilakukan Slamet, pada awal 2023 publik juga sempat digegerkan dengan terungkapnya pembunuhan yang dilakukan oleh komplotan Wowon Eriawan alias Aki (60) di Bekasi, Jawa Barat.

Wowon melakukan pembunuhan terhadap sembilan korban yang ditipu dengan modus penggandaan kekayaan secara supranatural.

Menanggapi masih maraknya kasus penipuan dengan modus penggandaan uang, sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono menyebut kecemasan dalam hidup membuat beberapa orang memilih jalur pintas dengan pergi ke dukun.

Menurut Drajat, pengembangan modernisasi rasionalitas di Indonesia yang masih beriringan dengan pengetahuan tradisional memungkinkan orang percaya pada kekuatan supranatural yang bisa membuat hidup mereka menjadi lebih baik.

"Semakin orang merasakan ketidakpastian dalam hidup, ekonomi dan lainnya maka semakin mudah dia masuk ke sesuatu yang non rasional," ujar Drajat kepada Kompas.com, Jumat (7/4/2023).

"Padahal kalau orang rasionalitasnya sudah tinggi dan mengikuti agamanya dengan lurus dia tidak perlu pergi ke dukun," kata dia.


Drajat menjelaskan, ketidakpastian ekonomi usai pandemi Covid-19, juga bisa membuat orang kehilangan rasionalitasnya.

Di tengah sulitnya ekonomi yang dihadapi, beberapa orang memilih jalur instan dengan pergi ke dukun pengganda uang, supaya bisa memperoleh keuntungan secara ekonomi.

Meskipun, modus penipuan berkedok penggandaan uang telah banyak memakan korban.

Drajat menuturkan, kelas ekonomi maupun pendidikan tidak menjamin seseorang terhindar dari bujuk rayu dukun pengganda uang. Sebab, ketika berada di situasi cemas seseorang kadang kala tidak lagi bisa berpikir secara jernih.

"Bagi beberapa orang, ketika dalam situasi cemas dan terdesak akan mencari jalan lain yang mereka sebut sebagai jalan pintas untuk mendapatkan kinerja ekonomi yang maksimal. Nah di Indonesia sangat terkenal yang namanya pesugihan, menggunakan berbagai kekuatan supranatural untuk mendapatkan prestasi ekonomi," ujar Drajat.

Tidak ada kontrol

Dalam sejumlah kasus penipuan berkedok penggadaan uang, kebanyakan korbannya berasal dari luar wilayah, seperti halnya korban dukun Slamet yang berasal dari luar Banjarnegara.

Promosi di media sosial menjadi salah satu cara efektif untuk menjaring korban. Testimoni tentang keberhasilan penggadaan uang pun ditampilkan untuk meyakinkan korbannya.

Menurut Drajat, tidak adanya kontrol dari pemerintah maupun pengelola media sosial terkait praktik dukun pengganda uang membuat mereka semakin leluasa menjaring korban di dunia maya. Padahal, praktik demikian berpotensi menimbulkan penipuan.

"Banyak sekali di media sosial informasi terkait perdukunan mulai dari dukun kecantikan, susuk, hingga penggandaan uang. Dan tidak ada kontrol. Padahal hal itu merupakan ganguan rasionalitas dan bisa menjadi penipuan," ujarnya.

Bermodalkan keyakinan lewat iklan di media sosial maupun cerita dari mulut ke mulut, para korban menyerahkan sejumlah uang untuk digandakan.

Bujuk rayu dari dukun penggada uang membuat korban tidak lagi berpikir jauh untuk mencari tahu latar belakang orang yang baru dikenalnya itu.


Dalam sejumlah kasus, orang di dekat tempat tinggal dukun pengganda uang justru tidak mengetahui praktik demikian. Bahkan dalam kasus dukun Slamet, sang istri justru tidak tahu bahwa suaminya adalah dukun pengganda uang.

"Orang-orang di sekitar dia (dukun) karena sudah kenal dan tahu, maka pemujaan dia tidak terlalu tinggi. Misal saya kenal seseorang secara dekat, kemudian dia mengatakan bisa mengadakan uang, ya jadi bahan bercandaan," kata Drajat.

"Tapi kalau orang asing yang tidak kenal dan mendapatkan informasi yang sebegitu penting maka harapan dan pemujaan dia akan tinggi," ujarnya.

Mencegah penipuan

Bagi Drajat dengan semakin banyaknya kasus penipuan dukun pengganda uang yang terungkap, seharusnya membuat masyarakat semakin rasional. Tidak ada kekayaan yang bisa didapat secara instan dengan jalur supranatural.

Selain itu, jangan mudah terbujuk dengan penawaran dari orang asing yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan agama.

"Kalau menurut saya ya ikuti agama yang lurus, masing-masing agama itu punya ajaran bahwa rezeki itu dari Tuhan dan diperoleh dengan usaha," ujarnya.

Di samping itu, menurut Drajat, diperlukan kontrol dari pemerintah terkait dengan penipuan dengan modus menggadakan uang.

Terlebih, saat ini sudah merambah di media sosial. Hal itu diperlukan supaya mereka yang berniat melakukan penipuan tidak leluasa dalam menjaring korbannya.

"Yang bisa mengontrol seperti itu kan negara, apakah melalui kebudayaan atau sistem informasi digital. Tidak adanya kontrol membuat mereka akhirnya bebas melakukan aksinya," ujar Drajat.

https://www.kompas.com/cekfakta/read/2023/04/10/125404382/sudah-menipu-banyak-orang-mengapa-dukun-pengganda-uang-masih-dipercaya

Terkini Lainnya

Kesetiaan Marco Reus dan Perpisahannya dengan Dortmund...

Kesetiaan Marco Reus dan Perpisahannya dengan Dortmund...

Data dan Fakta
[HOAKS] Penemuan Tengkorak Raksasa di Sri Lanka

[HOAKS] Penemuan Tengkorak Raksasa di Sri Lanka

Hoaks atau Fakta
Pakar HAM PBB Serukan Sanksi dan Embargo Senjata terhadap Israel

Pakar HAM PBB Serukan Sanksi dan Embargo Senjata terhadap Israel

Data dan Fakta
Pembantaian Tulsa, Kekerasan Rasial Terburuk dalam Sejarah AS

Pembantaian Tulsa, Kekerasan Rasial Terburuk dalam Sejarah AS

Sejarah dan Fakta
[HOAKS] Hashim Akui Kemenangan Anies Baswedan di Pilpres 2024

[HOAKS] Hashim Akui Kemenangan Anies Baswedan di Pilpres 2024

Hoaks atau Fakta
Menyoal Gazawood dan Pallywood, Tudingan Manipulasi Korban Serangan Israel

Menyoal Gazawood dan Pallywood, Tudingan Manipulasi Korban Serangan Israel

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Video Cristiano Ronaldo Dukung Anak-anak Palestina Hasil Manipulasi AI

[KLARIFIKASI] Video Cristiano Ronaldo Dukung Anak-anak Palestina Hasil Manipulasi AI

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Foto Keanu Reeves Lari Menenteng Kamera Bukan karena Mencuri dari Paparazi

INFOGRAFIK: Foto Keanu Reeves Lari Menenteng Kamera Bukan karena Mencuri dari Paparazi

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Menyebar Ikan Lele ke Saluran Air Bisa Cegah DBD? Cek Faktanya!

INFOGRAFIK: Menyebar Ikan Lele ke Saluran Air Bisa Cegah DBD? Cek Faktanya!

Hoaks atau Fakta
[VIDEO] Konteks Keliru soal Detik-detik Helikopter Presiden Iran Jatuh

[VIDEO] Konteks Keliru soal Detik-detik Helikopter Presiden Iran Jatuh

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Pemain Real Madrid Vinicius Junior Keturunan Indonesia

[HOAKS] Pemain Real Madrid Vinicius Junior Keturunan Indonesia

Hoaks atau Fakta
[VIDEO] Manipulasi Video Iwan Fals Nyanyikan Lagu Kritik Dinasti Jokowi

[VIDEO] Manipulasi Video Iwan Fals Nyanyikan Lagu Kritik Dinasti Jokowi

Hoaks atau Fakta
Tenzing Norgay, Sherpa Pertama yang Mencapai Puncak Everest

Tenzing Norgay, Sherpa Pertama yang Mencapai Puncak Everest

Sejarah dan Fakta
[KLARIFIKASI] Pep Guardiola Enggan Bersalaman dengan Alan Smith, Bukan Perwakilan Israel

[KLARIFIKASI] Pep Guardiola Enggan Bersalaman dengan Alan Smith, Bukan Perwakilan Israel

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Seniman Suriah Bikin 'Patung Liberty' dari Reruntuhan Rumahnya

[HOAKS] Seniman Suriah Bikin "Patung Liberty" dari Reruntuhan Rumahnya

Hoaks atau Fakta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke