KOMPAS.com - Pada awal abad ke-19 (1801-1900) pesanan bahan gula, kopi, dan kapas, pada perkebunan di Amerika Serikat (AS) tengah meningkat pesat, sehingga para pengusaha dan tuan tanah membutuhkan pekerja tambahan.
Di masa itulah perdagangan dan perbudakan orang-orang Afrika, yang dikirim melalui Samudra Atlantik, semakin gencar dilakukan.
Dikutip dari History, sesungguhnya Kongres AS telah melarang perdagangan budak lintas Samudra Atlantik sejak 1807.
Namun, pemilik kapal, pedagang, pelaut, pejabat korup yang sebagian besar berbasis di New York City dan sekutu asing mereka terus menjalankannya secara ilegal.
Di sisi lain, pembuat kebijakan di AS pun bingung menangani orang-orang yang telah dibebaskan dari perbudakan.
Apakah mereka perlu dikembalikan ke Afrika? Ataukah dizinkan tetap tinggal di AS? Bagaimana mereka bisa hidup di sana, sedangkan teman sesama kulit hitam mereka masih banyak yang diperbudak?
Di tengah perbincangan isu tersebut, seorang pria bernama Robert Finley muncul mendirikan organisasi American Colonization Society tahun 1816, yang bertujuan mengembalikan mantan budak ke Afrika.
Pengiriman terorganisasi pertama yang mereka lakukan diberangkatkan dari Pelabuhan New York pada 6 Februari 1820. Pemberangkatan ini menggunakan dana dari Pemerintah AS sebesar 100.000 dollar AS.
Organisasi itu hendak meniru cara Inggris dalam menghapus perbudakan, yakni menjajah atau merebut sebuah wilayah untuk dijadikan tanah air bagi para mantan budak.
Inggris telah mendirikan Kota Freetown pada 1792 di Sierra Leone, sebuah negara di pantai barat Afrika. Berpuluh-puluh tahun kemudian ribuan mantan budak datang ke Sierra Leone. Ke sana pula mantan budak AS hendak dikirim.
Namun satu tahun kemudian, atau pada 1821, American Colonization Society memutuskan menyiapkan lahan sendiri untuk mantan budak AS.
Mereka menguasai wilayah di selatan Sierra Leone dan menamainya Liberia, yang menjadi negara jajahan AS sebagai tempat pengiriman mantan budak.
Negara yang juga memiliki pantai menghadap Samudera Atlantik itu kemudian dimerdekakan Pemerintah AS pada 1847, atas tekanan dari Inggris.
Namun, benarkah cara ini solusi yang tepat untuk menghapus perbudakan?
Profesor Sejarah di Clark University, AS, Ousmane Power Greene pernah menjelaskan, sebagian orang kulit hitam memang membangun gerakan sendiri untuk kembali ke Afrika sebagai jalan keluar dari perbudakan.
Namun, sebagian lainnya berpendapat mereka dan orangtua mereka juga telah bekerja keras untuk perkembangan AS, sehingga berhak tinggal dan menjadi warga resmi di sana.
"Mereka berpendapat bahwa keringat dan darah mereka, keluarga mereka yang pernah diperbudak, membangun negara ini. Jadi karena itu mereka memiliki hak yang sama untuk berada di sini dan menjadi warga negara," kata Greene.
Di sisi lain, banyak juga yang berpendapat miring pada kerja-kerja American Colonization Society, bahwa mereka hanya bentuk trik mengulur waktu agar praktik perbudakan berumur panjang.
Lantaran muncul gerakan abolisionis pada 1830-an yang menuntut perbudakan segera dihapuskan, dan menolak cara American Colonization Society yang melakukannya bertahap.
Selain itu, kelompok abolisionis mengatakan memindahkan mantan budak ke tanah yang baru, dengan konflik dan penyakit baru, merupakan suatu bentuk kekejaman.
Presiden AS ke-16 Abraham Lincoln pun pernah mengakui bahwa harapan solusi terbaik masalah perbudakan mungkin membiarkan mantan budak tetap tinggal di AS, karena faktanya potensi kematian menunggu mereka yang dikirim ke Liberia.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2023/02/06/180600782/mantan-budak-di-as-kembali-ke-afrika-pada-1820-muncul-negara-baru