KOMPAS.com - Sajian tradisional masyarakat Tionghoa membawa warna sendiri bagi khazanah kuliner nusantara. Salah satunya bacang dan kicang.
Dengan bahan dasar beras atau ketan, bacang dan kicang dibungkus berbentuk piramida dengan daun bambu.
Meski sederhana, tetapi dua makanan itu memiliki asal usul yang menarik.
Bacang dan lomba perahu naga
Bacang dihidangkan pada hari kelima bulan kelima untuk perayaan Peh Cun sebagai persembahan untuk meminta hujan dan cuaca baik selama musim panen.
Dikutip dari buku Peranakan Tionhoa dalam Kuliner Nusantara (2013) oleh Aji Chen Bromokusumo, Peh Cun diambil dialek Hokkian pa long chuan yang berarti mendayung atau mengemudikan perahu naga.
Perayaan ini telah diadakan selama lebih dari 2.300 tahun sejak masa Dinasti Zhou.
Rakyat Tionghoa membuat perayaan ini sebagai bentuk penghormatan kepada Qu Yuan, seorang menteri Raja Huai dari Negara Chu di masa perang sekitar 475-211 SM.
Menteri itu merupakan pejabat yang berbakat dan setia kepada negaranya.
Qu Yuan dianggap telah memberikan banyak kontribusi kepada Negara Chu. Salah satunya dengan menginisiasi untuk bersatu dengan Negara Qi untuk memerangi Negara Qin.
Sayangnya, keluarga kerajaan tak senang dengan inisiasinya itu. Qu Yuan pun diusir dari ibu kota negara.
Merasa sedih dan cemas akan masa depan negaranya, dia bunuh diri dengan melompat ke sungai Yu Lou.
Menurut catatan sejarawan Sima Wian, dia melompat pada tanggal lima bulan lima.
Rakyat yang merasa kehilangan sosok menteri bijaksana itu akhirnya mencari-cari jenazahnya di sepanjang sungai.
Tak kunjung ketemu, mereka pun melempar nasi dan makanan lain ke sungai dengan maksud agar ikan dan udang dalam sungai tidak memakan jenazah sang menteri.
Mereka juga membungkus makanan itu dengan bumbung bambu, yang dipercaya dapat menghindari naga.
Para nelayan juga mencari jenazah sang menteri dengan perahu.
Kegiatan mereka mendayung perahu mencari jenazah ini pun menjadi cikal bakal perlombaan perahu naga setiap tahun.
Sementara, bacang menjadi makanan simbolik di mana masyarakat membungkus makanan dengan bumbung bambu, yang kemudian diganti dengan daun bambu.
Tradisi makan bacang secara resmi menjadi kegiatan rutin dalam Festival Duan Wu, sejak Dinasti Jin.
Sajian beras atau ketan dengan isian daging ini juga tak selalu berbentuk piramida.
Di Taiwan misalnya, di zaman Dinasti Ming akhir, bentuk bacang yang dibawa dari pendatang Fu Jian berbentuk bulat gepeng. Selain daging, ada pula yang berisi sayur-sayuran.
Ada pula bacang yang dibuat kecil-kecil tanpa isi, yang dimakan bersama serikaya.
Kicang adalah versi lain dari bacang. Jika bacang berisi daging atau pendamping lain, kicang murni dari ketan tanpa tambahan apa pun.
Kicang juga biasa disebut kuecang atau kwecang. Namanya berasal dari kata ki yang berarti air.
Secara tradisional, air ki dihasilkan dari pencampuran air dengan abu hasil pembakaran merang, sehingga menghasilkan air alkali.
Air ini berguna untuk mengenyalkan tekstur bahan yang mengandung karbohidrat, termasuk ketan.
Air inilah yang membuat kicang berwarna kekuningan mengkilap, dengan tekstur lebih kenyal.
Bila dilihat dari bungkus daun bambunya, kicang memiliki warna daun yang tampak lebih muda.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2023/01/23/122400582/asal-usul-bacang-dan-kicang-penganan-khas-tionghoa