Eksklusif kisah pelatih bulu tangkis tunggal putra Guatemala, Muamar Qadafi (Bagian 3), dalam wawancara bersama Jurnalis Kompas.com, Mochamad Sadheli dan Farahdilla Puspa.
KOMPAS.com - Muamar Qadafi menceritakan perjalanannya membantu Kevin Cordon hingga tampil di Olimpiade Tokyo 2020, termasuk saat melawan Anthony Sinisuka Ginting pada partai perebutan medali perunggu.
Wawancara eksklusif Muamar Qadafi bagian pertama dan kedua bisa dibaca melalui link berikut ini:
Baca juga: Wawancara Eksklusif Muamar Qadafi Bagian 1, Awal Kisah Perjalanan
Baca juga: Eksklusif Kisah Muamar Qadafi, Pertemuan Kevin Cordon dan Dilema Keluarga (2)
Awal 2017 bulan Maret atau April, Kevin Cordon menghubungi saya lagi. Karena waktu Olimpiade 2016, performanya tidak sesuai keinginan. Tubuhnya overweight, cedera, dan tidak bisa melanjutkan pertandingan sehingga terhenti pada fase grup Olimpiade 2016.
Ada keraguan dalam diri Kevin mau lanjut atau retired. Setelah dia berbincang dengan Federasi Bulu Tangkis Guatemala, dia menemukan jawabannya. Akhirnya lanjut satu siklus lagi. Kemudian yang dia butuhkan itu coach, tebersit dalam pikirannya adalah saya. Lalu dia menghubungi saya, tanya saya ada di mana, dan bernegosiasi.
Kevin ingin berpartisipasi di Central American Games 2018, Pan Am Games 2019, dan kualifikasi Olimpiade 2020. Setelah dia meminta itu, saya sebenarnya juga ada tawaran dari negara lain bahkan lebih baik dari segi finance dan fasilitas.
Akan tetapi, saya melihat dia pribadi yang sudah saya kenal, punya dedikasi tinggi di olahraga ini, disiplin, komitmen, dan tanggung jawabnya besar. Tanpa pikir panjang, saya jawab oke.
Saya akhirnya berangkat ke Guatemala. Sebelum latihan, saya bicara dengan dia bahwa secara fisik kondisinya sudah tidak seperti 10 tahun lalu. Dia juga dikenal sebagai pemain yang punya smes kencang. Namun, para pemain yang sudah mengenalnya ini punya pikiran bagaimana cara membuat Kevin tidak bisa menyerang.
Saat tidak bisa menyerang ini, terus bagaimana? Apakah dia bisa bermain dengan tipe permainan yang lain? Itu yang harus saya siapkan. Seandainya ada pemain cerdas dan punya strategi yang bagus saat melawan dia, tetapi Kevin tak bisa mengeluarkan senjatanya, saya tidak mau dia frustrasi.
Lalu, permainan dengan sistem rally 21 ini menuntut kami untuk konsisten, artinya tidak banyak membuat kesalahan-kesalahan kecil, khususnya saat melawan pemain-pemain selevel dia, apalagi di babak penting seperti 8 besar, semifinal, dan final.
Baca juga: Profil Kevin Cordon, Anak Didik Pelatih Indonesia yang Ukir Sejarah di Olimpiade Tokyo
Akhirnya, dia mau mencoba. Karena dia sudah punya pengalaman, punya kualitas, jadi saya tidak membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Kami sudah punya gaya permainan kami. Tahun 2017, saya manfaatkan untuk mengubah pikirannya dan permainannya dibantu oleh pelatih lokal di sana serta beberapa pemain yang membantu program latihan ini.
Karena tidak ada sparring, jadi dia latihan terus 1 lawan 2 (dengan pemain-pemain di sana). Kalau 1 lawan 1 sudah pasti sangat mudah bagi dia.
Tahun 2017, dia bertanding di International Series di USA dan bertemu Kento Momota di final. Saat itu, Momota baru selesai menjalani sanksinya. Jadi, dia mulai dari awal lagi. Saat itu, kami memanfaatkan semua turnamen untuk mencoba permainan yang sudah dilatih, sampai seberapa sejauh perkembangannya.
Kevin kalah dua gim langsung dari Momota. Kevin bilang defence Momota rapat sekali, caranya keluar dari tekanan luar biasa, dan punya variasi pukulan yang banyak sekali. Tidak seperti pemain-pemain dari Benua Amerika.
Saya bilang ya memang seperti itu karena dia (Momota) punya kultur bulu tangkis. Jadi, pemikirannya di lapangan berbeda dari pemain-pemain Benua Amerika. Pemain Benua Amerika mungkin saat dalam tekanan asal mengembalikan bola tanpa ada ide bagaimana keluar dari tekanan.