Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diperingati Setiap 2 Desember, Ini Sejarah Hari Internasional Penghapusan Budak

Kompas.com - 02/12/2023, 11:30 WIB
Laksmi Pradipta Amaranggana,
Ahmad Naufal Dzulfaroh

Tim Redaksi

 

KOMPAS.com - Setiap 2 Desember, diperingati sebagai hari internasional untuk penghapusan budak atau International Day for the Abolition of Slavery.

Peringatan ini merujuk pada tanggal diadopsinya Konvensi PBB tentang Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Pelacuran oleh Pihak Lain (resolusi 317 ( IV) tanggal 2 Desember 1949).

Tujuan peringatan hari penghapusan budak ini adalah menghilangkan bentuk-bentuk perbudakan kontemporer, seperti perdagangan manusia, eksploitasi secara seksual, dan perbudakan pada anak.

Baca juga: Profil Briptu Renita Rismayanti, Polwan Terbaik PBB 2023 Asal Indonesia

Latar belakang Konvensi PBB soal perbudakan

Adanya konvensi tersebut dilatarbelakangi oleh praktik perbudakan pada era kolonialisasi yang terjadi sejak beberapa dekade sebelumnya, dilansir dari CNBC TV18.

Pada abad ke-17, misalnya, orang-orang dari berbagai negara Afrika diangkut ke Amerika Serikat dan dipaksa untuk menjadi budak di perkebunan milik orang kulit putih.

Orang-orang Afrika ini juga dipaksa menjadi budak beberapa industri di Amerika Serikat, seperti industri tembakau dan kapas, dikutip dari National Today.

Para ahli sejarah meyakini, diperkirakan 6-7 juta orang terjebak dalam perbudakan selama abad ke-18 dan didominasi oleh orang Afrika.

Melihat fenomena ini, presiden Amerika Serikat pada masa itu, Abraham Lincoln kemudian mengeluarkan proklamasi emansipasi pada 22 September 1862.

Selanjutnya, pada 1 Januari 1863, Lincoln secara resmi mengumumkan penghapusan status budak di seluruh negara bagian di Amerika Serikat.

Proklamasi ini membebaskan setidaknya 3 juta orang yang diperbudak di Amerika Serikat pada masa itu.

Baca juga: Polisi Tangkap Satu Orang Terkait TKW Asal Cianjur Dijadikan Budak Seks di Dubai, Ini Perannya

Bentuk perbudakan di era modern

Seiring berkembangnya waktu, ada beberapa bentuk perbudakan lama yang berubah menjadi perbudakan baru, seperti pernikahan paksa dan melibatkan anak di dalam perang sipil.

Bentuk-bentuk perbudakan di masa kini umumnya dilatarbelakangi oleh diskriminasi yang menimpa kelompok rentan dalam masyarakat, seperti suku minoritas, golongan masyarakat kelas bawah, dan masyarakat adat.

Oleh karena itu, PBB saat ini tak hanya berfokus pada bentuk perbudakan lama saja, tetapi juga pada perbudakan modern.

Berdasarkan data PBB, sebanyak 52 persen budak dapat dijumpai pada negara dengan pendapatan menengah ke atas atau negara yang tergolong memiliki pendapatan tinggi.

Sementara Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat, sekitar 50 juta orang masih berada dalam perbudakan modern yang tersebar di seluruh dunia.

Perempuan dan anak-anak menjadi golongan masyarakat yang berada dalam posisi paling rentan terhadap perbudakan.

Baca juga: Ramai soal Twit Kota Depok Artinya Gereja Protestan Pertama untuk Budak, Benarkah?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com