Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mitos Malam Satu Suro, Mengapa Tak Boleh Keluar Malam?

Kompas.com - 16/07/2023, 07:15 WIB
Alinda Hardiantoro,
Inten Esti Pratiwi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Malam satu Suro bertepatan dengan tanggal 1 Muharam dalam kalender Hijriah.

Pada 2023, malam satu Suro jatuh pada Selasa (18/7/2023) malam.

Masyarakat Jawa meyakini bahwa di malam tersebut terdapat beberapa pantangan yang tidak boleh dilakukan.

Salah satu mitosnya adalah, di malam itu masyarakat tidak boleh keluar malam.

Malam satu Suro umumnya diperingati pada malam hari setelah Maghrib sehari sebelum tanggal 1 Sura atau 1 Muharam.

Lantas, mengapa banyak mitos malam satu Suro yang dipercayai masyarakat Jawa?

Baca juga: Arti Malam Satu Suro, Makna, dan Tradisinya...


Mitos malam satu Suro

Pemerhati budaya sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Tundjung W Sutirto mengatakan, perkembangan mitos malam satu Suro terjadi secara akumulatif.

Mitos ini berawal dari pensakralan yang dilakukan masyarakat Jawa terkait penggabungan kalender Islam dan Jawa (Hindu) sebagaimana asal-usul malam satu Suro.

"Jadi momentum penanggalan yang digaungkan itu diyakini sebuah momentum yang istimewa sehingga masyarakat menganggap malem Suro adalah sakral karena adanya penggabungan itu akan menentukan perhitungan (dalam bahasa Jawa: petangan)," jelasnya, kepada Kompas.com, Kamis (13/7/2023).

Sifat sakral itulah yang menuntun masyarakat Jawa sebagai pendukung budaya untuk "meluhurkan" sebuah pergantian tahun dengan "laku spiritual".

Dari situ, muncul mitos untuk tidak bepergian jauh tanpa tujuan, tidak menyelenggarakan pernikahan, tidak pindah rumah, dan tidak keluar rumah.

"(Itu) mitos yang mensakralkan pergantian tahun baru Jawa," kata Tundjung.

Baca juga: Benarkah Kebo Bule Diberi Minum Kopi dan Makan Ketela Sebelum Dikirab di Malam 1 Suro?

Perkembangan mitos malam satu Suro

Perkembangan mitos tidak dapat disebut sebagai momentum. Mitos itu berkembang secara akumulatif, yaitu dalam makna sesuai konteks zamannya oleh pemangku kebudayaan.

"Kalau dicari mulai kapan tentu sejak Sultan Agung menciptakan penggabungan kalender Saka dengan Islam pada dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M," terang Tundjung.

Sebagai contoh, tradisi kirab pusaka di Keraton Surakarta yang digelar setiap malam satu Suro bukan merupakan tradisi yang berlangsung sejak kerajaan Mataram ada.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com