KEPUTUSAN terbaru pemerintah Belanda mengembalikan artefak era kolonial yang pernah dicuri dari Indonesia dan Sri Lanka bukanlah semata-mata tentang restitusi budaya. Hal tersebut juga merupakan momen penting dalam proses pertanggungjawaban setelah masa kolonial yang tertunda lama.
Dari perspektif Indonesia, kembalinya harta karun bersejarah itu menandakan validasi terhadap warisan budaya kita dan penegasan narasi sejarah kita, memberikan suatu katarsis yang mendalam dan penting.
Di antara artefak yang dikembalikan adalah "Harta Karun Lombok", koleksi benda-benda berharga berupa emas dan perak yang diambil pasukan Belanda setelah merebut Istana Cakranegara di Pulau Lombok tahun 1894. Benda-benda ini bukan sekadar artefak, tetapi juga perwujudan fisik dari sejarah kita.
Baca juga: Belanda Akan Kembalikan Artefak yang Dijarah 200 Tahun Lalu ke Indonesia dan Sri Lanka
Bagi bangsa Indonesia, pemulangan benda-benda tersebut bukan hanya tentang mengembalikan barang yang dicuri, tetapi juga merebut kembali narasi kita, sebuah narasi yang sering kali ditulis dan digambarkan oleh tangan-tangan asing.
Namun, tindakan itu memiliki makna yang lebih dari sekadar pengembalian benda-benda budaya. Hal itu mewakili perubahan signifikan dalam dinamika kekuasaan yang telah lama diabaikan, sebuah perbedaan yang berakar kuat pada masa lalu kolonial dunia.
Selama berabad-abad, kekuatan-kekuatan kolonial mengumpulkan kekayaan dan artefak budaya yang luar biasa besar, seringkali melalui penaklukan dengan kekerasan dan penjarahan gelap, sebuah fakta yang jarang diakui dan ditangani.
Ketidakseimbangan dalam penguasaan benda-benda warisan itu telah lama melanggengkan narasi implisit tentang dominasi dan eksploitasi. Karena itu, mengembalikan artefak era kolonial merupakan bentuk reparasi, sebuah cara untuk mengakui ketidakadilan sejarah dan mulai memperbaiki ketidakseimbangan yang telah terjadi.
Keputusan Belanda mencerminkan kesadaran yang meningkat di antara mantan penguasa kolonial tentang tanggung jawab sejarah mereka dan kesediaan untuk menghadapi kebenaran yang tidak nyaman dari masa lalu kolonial mereka. Namun, meskipun kita menghargai sikap itu, penting untuk memahami bahwa itu hanyalah satu langkah menuju rekonsiliasi.
Gunay Uslu, wakil menteri Belanda untuk kebudayaan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan, menyatakan, rekomendasi itu harus dilihat sebagai "tonggak sejarah dalam menangani koleksi dari konteks kolonial".
Namun, tonggak sejarah itu seharusnya menjadi bagian dari perjalanan yang lebih luas dan bukan tujuan akhir. Kita harus mengantisipasi dan mendukung kelanjutan kerja komisi itu dalam hal penanganan akuisisi kolonial lainnya, yang melampaui batas-batas wilayah Indonesia.
Diskusi-diskusi tersebut mencakup karya seni dari Nigeria dan koleksi Dubois, yang secara khusus mencakup tali kekang kuda Pangeran Diponegoro. Benda-benda tersebut menandakan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, dan pemulangannya merupakan tindakan nyata untuk mengakui dan memperbaiki kesalahan di masa lalu.
Namun, proses restitusi tidak boleh bersifat transaksional atau sekadar basa-basi. Proses itu harus menumbuhkan lingkungan kerja sama, dialog, dan saling pengertian. Seperti yang dinyatakan Direktur Rijksmuseum, Taco Dibbits, tindakan itu merupakan "langkah positif dalam kerja sama" dan berpotensi "menjadi fondasi yang kuat untuk masa depan".
Hal itu membuka jalan bagi hubungan internasional yang kuat berdasarkan rasa saling menghormati dan saling pengertian, yang dapat membantu kita mengatasi warisan kolonialisme yang rumit dan menyakitkan sekaligus memperkuat hubungan.
Kita mungkin bisa merayakan kemenangan ini untuk keadilan sejarah, tapi kita tidak boleh melupakan implikasi globalnya. Pengembalian artefak-artefak itu harus menjadi preseden bagi negara-negara bekas penjajah lainnya untuk memeriksa koleksi mereka dan menangani warisan kolonial mereka.
Sudah saatnya bagi setiap negara menghadapi masa lalu kolonialnya dan memulai langkah konkret menuju restitusi dan rekonsiliasi.