KOMPAS.com - Sebagian wilayah Indonesia dapat menyaksikan fenomena gerhana matahari total pada Kamis (20/4/2023).
Puncak fenomena langka tersebut dapat dilihat sesuai dengan waktu masing-masing daerah.
Kendati demikian, Peneliti di Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andi Pangerang melarang masyarakat untuk melihat gerhana matahari total secara langsung.
"Gerhana matahari total itu tidak dapat dilihat secara langsung menggunakan mata telanjang," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Senin (17/4/2023).
Meskipun cahaya matahari menjadi redup dan langit menjadi gelap, kata Andi, bagian terluar matahari tetap memancarkan cahaya.
"Di sekitar bagian terluar matahari, yaitu prominensa dan korona itu akan menghasilkan intensitas cahaya yang sama sebagaimana saat tidak terjadi gerhana matahari," terangnya.
Baca juga: LINK Live Streaming Fenomena Langka Gerhana Matahari Hibrida
Lebih lanjut Andi menjelasakan, alasan mengapa gerhana matahari total tidak boleh dilihat secara langsung adalah karena lensa mata manusia seperti lensa cembung yang sifatnya adalah konvergen atau memusatkan cahaya pada satu titik fokus.
"Sehingga jika sinar matahari itu melewati lensa mata kita, itu akan difokuskan ke arah retina dan lama-lama akan membuat sensasi panas bahkan terbakar di retina mata," jelasnya.
Dokter mata anak di Washington, Vike Vicente juga melarang hal yang sama.
Vicente mengatakan, menatap gerhana matahari total selama 10 menit bisa membakar sel-sel di retina.
"Dan begitu retina terbakar, tidak ada perbaikan, tidak ada perbaikan untuk itu," ucapnya, dikutip dari Washington Post.
Baca juga: Daerah yang Bisa Menyaksikan Gerhana Matahari Hibrida 20 April 2023
Dilansir dari Nvision Centers, risiko terbesar seseorang yang melihat gerhana matahari secara langsung adalah retinopati.
Retinopati terjadi ketika sinar radiasi matahari merusak retina.
Efek ini terasa setelah 4 hingga 6 jam kemudian. Di beberapa kasus, efek baru muncul setelah 12 jam.
Tidak ada pengobatan untuk retinopati ini.