PADA judul naskah ini, memang letak matematika didahulukan ketimbang musik bukan karena lebih penting, namun sekadar berdasar urutan abjad belaka.
Maha Polymath Jerman, Gottfried Wilhelm von Leibniz sempat bersabda “Die Freude, die uns die Musik macht, beruht auf unbewusstem Zählen”.
Apabila di-Perancis-kan kira-kira bermakna “La musique est un exercice caché d'arithmétique, l'esprit n'ayant pas conscience qu'il est en train de compter” atau di-Latin-kan menjadi “Musica est exercitium arithmeticae occultum nes cientis se numerare animi“ yang agar tidak keliru lebih aman tidak saya alih-bahasakan ke Indonesia.
Pada hakikatnya apa yang disabdakan Leibniz cukup selaras dengan kenyataan yang memang membenarkan kaitan musik dengan matematika seperti telah diprakarsa-sabdakan oleh Pythagoras.
Meski tidak lebih penting namun matematika memang bisa eksis tanpa musik, namun musik mustahil eksis tanpa matematika selama nada dan irama masih diakui sebagai unsur hakiki melekat pada apa yang disebut sebagai musik.
Sistem notasi nada Perancis yang bertumpu pada ut-re-mi-fa-sol pada hakikatnya lebih matematis ketimbang sistem notasi nada dengan abjad Jerman.
Ketika mencari nafkah sebagai pianis pengiring kelas balet di Jerman, saya saksi hidup bahwa tanpa matematika mustahil musik bisa dikomunikasikan oleh manusia dengan sesama manusia.
Yang terdengar pada kelas seni tari termasuk balet niscaya sang pendidik menyebut satu-dua-satu-dua atau satu-dua-tiga-satu-dua-tiga atau satu-dua-tiga-empat-satu-dua-tiga-empat atau satu-dua-tiga-empat-lima-enam-tujuh-delapan yang pada balet kontemporer juga bisa satu-dua-tiga-empat-lima yang bisa menjadi satu-dua-tiga-satu-dua atau satu-dua-satu-dua-tiga yang bisa berkembang menjadi 7 atau 2+3+2 atau 3+4 atau 4+3 atau 4+2+2 dan seterusnya ke 11 maupun angka prim selanjutnya sampai infinitas.
Menurut saya, Ludus Tonalis garapan Paul Hindemith secara matematis mirip tapi tak sama dengan eksperimen geometrikal dengan lingkaran kuin terkait angkamologis gagasan saya yang sudah barang tentu tidak sematematis mahakarya komposisi musik semisal yang berjudul “Metastasis” gubahan Iannis Xenakis.
Mengenai infinitas, sebenarnya setiap karya musik bisa diulang secara tanpa henti sampai akhir zaman sama halnya dengan prinsip infinitas dalam matematika.
Namun sudah barang tentu naskah ulasan musik dan matematika ini secara eksistensialistik maupun estetikalistik serta merta menjadi tidak relevan jika dikaitkan dengan apa yang saya saksikan pada pergelaran tari Bedayan oleh para penari penyandang tuna rungu secara bukan hanya menakjubkan, namun sudah mengharukan mengenai bagaimana musik dan matematika dikaitkan dengan seni tari yang ditampilkan dengan bahasa non auditif alias tanpa suara iringan musik.
Musik memang niscaya tergantung pada Wahrnehmung indera dengar meski konon Helen Keller dapat menikmati musik dengan merasakan getaran pada badan resonans alat musik.
Pada pergelaran tari Bedayan oleh para penyandang tuna rungu dari Bandung itu, terbukti apa yang disebut sebagai musik mampu menembus segenap batasan kategorial maupun apapun termasuk matematika buatan manusia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.