Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Jangan "Isme"kan Kemanusiaan

Kompas.com - 22/12/2022, 08:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAMikhtiar mempelajari apa yang disebut sebagai pemikiran, saya sempat mencoba mempelajari pemikiran Jean Paul Sartre. Karena tidak sempat bertemu langsung dengan tokoh pemikir Prancis itu dan kesangat-terbatasan bahasa Prancis maka saya hanya mampu mempelajari pemikiran Sarte dari membaca tulisan beliau serta tulisan orang lain tentang Sartre dalam bahasa Indonesia, Jerman, dan Inggris belaka, bukan dalam bahasa Prancis.

Dari apa yang saya baca, saya memberanikan diri untuk menyimpulkan bahwa di samping sempat menolak anugerah Nobel agar tidak terbelenggu pembingkaian, bahkan pembangkaian, kebebasan berpikir, Sartre menjelang akhir hayatnya dianggap bergeser dari eksistensialisme ke sosialisme bahkan marxisme.

Baca juga: Humanisme Transendental, Cita-cita Jakob Oetama dalam Memperjuangkan Kukuhnya Indonesia

Sudah barang tentu anggapan pergeseran isme itu bukan merupakan anggapan Sartre sendiri tetapi anggapan orang lain yang merasa berhak menganggapnya demikian.

Di sisi lain bahkan ada yang menganggap eksitensialisme sekular Sartre beda dengan eksistensialisme nasrani Kierkegaard, yang bahkan diperumit dengan anggapan bahwa radikalisme eksistensialisme Sartre beda arah dari radikalisme eksistensialisme Kierkegaard.  Hal itu layak dicurigai bahwa belum tentu Sarte dan Kierkegaard setuju dengan anggapan orang lain tersebut.

Segenap bingungologi (kebingungan) anggapan itu makin membingungkan jika mengingat kenyataan bahwa Sartre terhanyut pada gejolak peradaban pemikiran dirinya sendiri. Sartre pernah membukukan kemelut kontradiksi pemikiran dirinya sendiri dengan judul “L’existensialisme est un humanisme”.

Judul itu terkesan berupaya mempersatukan eksistensialisme yang berusaha dipisahkan dari humamisme, yang logikanya pasti tidak diupayakan dipersatukan jika tidak ada yang berupaya memisahkan bahkan memecah-belah demi diperbenturkan.

Sama halnya dengan machiavellisme dan smithisme bukan terminologi rekayasa Nicolo Machiavelli dan Adam Smith sendiri yang mengaburkan makna pemikiran Machiavelli dan Adam Smith sejatinya, maka istilah eksistensialisme, marxisme, dan humanisme an sich juga mengaburkan makna pemikiran Sartre, Marx, dan kemanusiaan sejatinya.

Tak heran di masa kini cukup banyak pihak berusaha mengaburkan makna sejati apa yang disebut sebagai kemanusiaan dengan menempelkan “isme” sebagai ekor istilah kemanusiaan yaitu humanisme. Sementara jelas bahwa istilah “kemanusianisme” terasa janggal.

Sayang setriliun sayang pada kenyataan kehidupan memang ada saja manusia yang menyalahgunakan istilah humanisme justru untuk tujuan yang bertolak belakang dari makna tujuan luhur kemanusiaan itu sendiri.

Sehingga, istilah humanisme justru rawan merusak citra luhur perjuangan yang diperjuangkan oleh para pejuang kemanusiaan seperti Ibu Teresa, Albert Schweitzer, Pedro Aruppe, Sri Palupi, Sandyawan Sumardi yang bahkan sempat tega dipolitisir dengan stigma pemberontak anarkis pelawan kekuasaan dengan kedok kemanusiaan.

Baca juga: Kemanusiaan Mahkota Peradaban

Sama halnya dengan istilah radikalisme rawan merusak makna radikal yang sebenarnya, maka istilah humanisme juga rawan merusak makna kemanusiaan yang sebenarnya. Demi melindungi keluhuran makna kemanusiaan yang sebenarnya, yang merupakan mahkota peradaban, sebaiknya jangan “isme”kan kemanusiaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com