Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Mengapa Propaganda Komputasional Lekat dengan Isu Ras dan Agama?

Kompas.com - 27/07/2022, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MEDIA sosial ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi dapat berperan positif dalam perbaikan kualitas demokrasi, di sisi lain dapat memunculkan masalah-masalah baru. Media sosial telah banyak menawarkan cara-cara baru bagi publik untuk berkomunikasi serta berinteraksi melampaui batas perbedaan jarak, waktu, maupun norma-norma sosial tertentu. Hasil dari transformasi digital ini juga memengaruhi tatanan sosial masyarakat dengan efektivitas yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk dalam hal kontestasi politik di berbagai negara.

Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin pada Juni 2022 mengutarakan kekhawatiran akan kembalinya propaganda komputasional menjelang Pemilu 2024. Menurut dia, propaganda komputasional sangat berbahaya bagi stabilitas nasional karena dapat memunculkan berbagai disinformasi, hoaks, dan fitnah di masyarakat.

Agus Sudibyo dalam buku Tarung Digital: Propaganda Komputasional di Berbagai Negara  menulis bahwa dalam kerangka komunikasi politik, propaganda komputasional didefinisikan sebagai penggunaan algoritma kurasi, analisis big data, sistem otomatisasi, dan artificial intelligence untuk secara sengaja menghasilkan serta menyebarkan informasi yang menyesatkan melalui jaringan media sosial.

Baca juga: Kemenangan Marcos Jr dan Pengaruh Disinformasi di Medsos

Propaganda model ini tidak menutup kemungkinan juga merembet ke media massa konvensional. Di media sosial, algoritma kurasi umum digunakan untuk menyaring berbagai informasi yang paling relevan berdasarkan minat penggunanya. Meskipun mempermudah user untuk menyediakan informasi yang disukai tanpa harus sulit mencari dan berguna bagi e-commerce, algoritma ini nyatanya juga dapat menjerumuskan penggunanya pada kelompok dialog yang eksklusif dan fanatik, dalam lingkup pemahaman bersifat terbatas atau bahkan tertutup.

Pengguna akan cenderung terpapar informasi yang hanya diharapkan muncul olehnya di media sosial. Fenomena ini menciptakan filter bubble dan echo chamber yang dimanfaatkan oleh para pelaku propaganda komputasional untuk menyebarkan hoaks dan disinformasi yang masif demi kepentingan politik tertentu. Otomatisasi dan kecerdasan buatan juga turut memainkan peran dalam mengendalikan akun-akun bot politik, lalu menggiring opini tertentu di media sosial.

Pengalaman di sejumlah negara

Ironisnya, salah satu sasaran utama propaganda komputasional adalah menyangkut isu ras dan agama di suatu negara. AS, Rusia, India, Brasil, Venezuela, bahkan negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia tidak luput menjadi arena praktik propaganda ini.

Menjelang Pilpres AS pada Oktober 2016, misalnya, sejumlah fake account di Twitter dan Facebook, yang ternyata setelah diselidiki berafiliasi dengan Rusia, ikut berperan aktif dalam kampanye Blacktivist serta meningkatkan ketegangan antara kaum kulit putih dan hitam di negara tersebut. Rusia memandang tensi dari isu rasial, seperti tagar #BlackLivesMatter, sebagai suatu hal yang dapat dieksploitasi, lalu menciptakan kekacauan domestik demi kepentingan geopolitiknya.

Di Brasil, Jair Bolsonaro berhasil memenangkan pemilihan presiden di negara itu pada Oktober 2018, dengan mengkampanyekan ujaran-ujaran diskriminatif di media sosial yang menyerang penduduk asli, perempuan, LGBT, Afro-Brasil, serta kelompok intelektual progresif. Sebagai politisi ekstrimis sayap kanan, kampanyenya yang banyak menyerang kaum minoritas banyak memanfaatkan platform aplikasi Whatsapp.

Propaganda komputasional dengan memanfaatkan isu agama turut membanjiri media sosial pada Pemilu India tahun 2019. Saat itu, India tengah dilanda demam patriotisme dan nasionalisme Hindu yang sangat militan akibat masifnya penyebaran hoaks menjelang kontestasi. Tujuan dari penyebaran berita bohong tersebut adalah meningkatkan popularitas partai ultranasionalis kanan dan mendelegitimasi kaum muslim, utamanya dari kelompok islam militan Pakistan, yang seringkali dianggap sebagai sumber masalah negara bagi pihak petahana.

Baca juga: AS Tuduh Putin Sebar Disinformasi di Hari Kemenangan, Bagaimana Faktanya?

Alhasil, perang hoaks yang dilakukan antar-partai berhasil membanjiri grup-grup Whatsapp di India dan memecah belah berbagai kelompok masyarakat.

Demokrasi di Asia Tenggara juga turut diuji oleh fenomena propaganda komputasional. Di Indonesia misalnya, fenomena propaganda komputasional sangat terasa di 2019. Saat itu, terjadi perang tagar politik berbau agama yang dilancarkan oleh salah satu pendukung kubu calon presiden dan menjadi trending topic di Twitter, seperti #HaramPilihPemimpinIngkarJanji, #UdahKhilafahAja, #HaramPilihPemimpinDzalim, #YgDzalimTinggalinAja, #TerbuktiDustaJadiPetaka, dan lain sebagainya.

Hasil pelacakan Drone Emprit, sebuah instrumen pelacakan percakapan media sosial yang dikembangkan Media Kernels, menyebut bahwa tagar-tagar tersebut diproduksi oleh akun-akun yang berafiliasi dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Hal ini tentu mengancam stabilitas politik mengingat narasinya yang berusaha mendelegitimasi negara lewat isu-isu agama ketika Pilpres berlangsung.

Pemilu Raya di Malaysia tahun 2018, juga menimbulkan perdebatan politik yang panas terkait propaganda isu rasial di media sosial dengan menciptakan dikotomi antara masyarakat Melayu dan non-Melayu di negara tersebut.

Primordialisme laku dalam propaganda komputasional

Lantas, mengapa isu-isu identitas seperti ras dan agama sangat kental dalam praktik-praktik propaganda komputasional di era informasi saat ini? Perlu diketahui bersama, hal-hal yang menyangkut identitas seperti ras, etnis, maupun agama, seluruhnya tergabung dalam suatu konsep primordialisme.

Terdapat beberapa definisi terkait primordialisme. Menurut Robuskha dan Shepsle, primordialisme merupakan sebuah loyalitas yang berlebihan terhadap budaya yang bersifat subnasional, misalnya keluarga, agama, ras, suku, dan kedaerahan. Isu primordialisme sangat efektif untuk mempermainkan emosi masyarakat serta cenderung dapat membuat publik menjadi sangat reaktif dan emosional tanpa perlu berpikir panjang. Hal ini dikarenakan isu tersebut merupakan akar dari identitas dan menjadi asal-usul yang paling bermakna bagi kehidupan suatu masyarakat.

Baca juga: Isu Primordialisme Memengaruhi Pilkada DKI?

Ramlan Subakti mendefinisikan primordialisme sebagai sebuah keterkaitan seseorang di dalam sebuah kelompok atas dasar ikatan kekerabatan, adat istiadat, dan suku bangsa, sehingga hal tersebut mampu melahirkan pola perilaku dan cita-cita yang sama. Kesamaan cita-cita serta pola perilaku dapat melahirkan berbagai nilai dan norma mendasar bagi kehidupan suatu kelompok, yang apabila diusik, dapat memunculkan reaksi negatif dari kelompok tersebut.

Selain faktor sensitifnya isu primordialisme, Agus Sudibyo juga mengemukakan bahwa media sosial memiliki kekuatan untuk meruntuhkan batas-batas intelektualitas seseorang. Begitu seorang pengguna media sosial sudah tersentuh keyakinan primordialnya, maka orang tersebut seketika dapat berubah menjadi sentimental, sensitif, dan intoleran terhadap keberagaman. Hal ini bahkan tidak hanya terjadi pada masyarakat berpendidikan rendah, tetapi juga kalangan intelektual maupun orang yang duduk pada suatu jabatan politik tertentu.

Dalam konteks inilah, celah bagi suburnya praktik propaganda komputasional, dengan menggunakan ¬akun-akun terotomatisasi di Twitter, Facebook, maupun Instagram lazim digunakan. Untuk mewaspadai praktik ini berkembang kembali pada Pemilu 2024 di Indonesia, maupun kontestasi elektoral di negara lainnya, perlu dikembangkan suatu kesadaran di masyarakat akan bahaya praktik propaganda komputasional ini lewat budaya literasi digital.

Selain mengganggu stabilitas negara, propaganda ini cenderung dapat melahirkan pemimpin-pemimpin populis, karena hanya mementingkan kaum tertentu di atas kepentingan bersama. Kedewasaan dalam menyikapi setiap permasalahan yang muncul di media sosial, menjadi hal yang perlu digaungkan bersama demi menyongsong masa depan di era informasi yang lebih baik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Pakai Jasa Pendorong Ilegal, 5 Anggota Jemaah Haji Indonesia Berurusan dengan Polisi Arab Saudi

Pakai Jasa Pendorong Ilegal, 5 Anggota Jemaah Haji Indonesia Berurusan dengan Polisi Arab Saudi

Tren
Cerita Warga yang Alami 'Blackout' di Sumatera: Tak Bisa Masak Nasi, Borong Genset agar Es Krim Tak Mencair

Cerita Warga yang Alami "Blackout" di Sumatera: Tak Bisa Masak Nasi, Borong Genset agar Es Krim Tak Mencair

Tren
Terobosan Baru, Alat Kontrasepsi Gel KB untuk Pria, Seberapa Efektif?

Terobosan Baru, Alat Kontrasepsi Gel KB untuk Pria, Seberapa Efektif?

Tren
China Angkut Bebatuan dari Sisi Terjauh Bulan, Apa Tujuannya?

China Angkut Bebatuan dari Sisi Terjauh Bulan, Apa Tujuannya?

Tren
Pelanggan PLN yang Terdampak Pemadaman Listrik Total Berhak Dapat Kompensasi, Berapa Besarannya?

Pelanggan PLN yang Terdampak Pemadaman Listrik Total Berhak Dapat Kompensasi, Berapa Besarannya?

Tren
Perbedaan Seragam Astronot Putih dan Oranye, Berikut Masing-masing Fungsinya

Perbedaan Seragam Astronot Putih dan Oranye, Berikut Masing-masing Fungsinya

Tren
5 Negara dengan Cuti Melahirkan Paling Lama, Ada yang sampai 14 Bulan

5 Negara dengan Cuti Melahirkan Paling Lama, Ada yang sampai 14 Bulan

Tren
WHO: Warga Gaza Mulai Makan Pakan Ternak dan Minum Air Limbah

WHO: Warga Gaza Mulai Makan Pakan Ternak dan Minum Air Limbah

Tren
Ini Syarat Pekerja Dapat Cuti Melahirkan 6 Bulan Sesuai dengan UU KIA

Ini Syarat Pekerja Dapat Cuti Melahirkan 6 Bulan Sesuai dengan UU KIA

Tren
Aturan UU KIA: Cuti Melahirkan Sampai 6 Bulan Berlaku Kapan, untuk Siapa, dan Gajinya

Aturan UU KIA: Cuti Melahirkan Sampai 6 Bulan Berlaku Kapan, untuk Siapa, dan Gajinya

Tren
Studi 25 Tahun Ungkap Pola Makan Mencegah Kematian Dini pada Wanita

Studi 25 Tahun Ungkap Pola Makan Mencegah Kematian Dini pada Wanita

Tren
Pengamat Khawatirkan Cuti Melahirkan 6 Bulan Bisa Picu Diskriminasi Wanita di Ruang Kerja

Pengamat Khawatirkan Cuti Melahirkan 6 Bulan Bisa Picu Diskriminasi Wanita di Ruang Kerja

Tren
Mengenal Vitamin P atau Flavonoid dan Manfaatnya bagi Kesehatan, Apa Saja?

Mengenal Vitamin P atau Flavonoid dan Manfaatnya bagi Kesehatan, Apa Saja?

Tren
Cerita Mahasiswa Indonesia Penerjemah Khotbah Jumat di Masjid Nabawi

Cerita Mahasiswa Indonesia Penerjemah Khotbah Jumat di Masjid Nabawi

Tren
Kenapa Kita Sering Merasa Diawasi? Ini 4 Alasan Psikologisnya

Kenapa Kita Sering Merasa Diawasi? Ini 4 Alasan Psikologisnya

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com