Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ishaq Zubaedi Raqib
Mantan Wartawan

Ketua LTN--Infokom dan Publikasi PBNU

Manhaj NU, Staqufiyah dan Identitas Agama

Kompas.com - 10/03/2022, 11:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kuda Tunggangan

Tidak semua "teka-teki" dalam NU selalu menyediakan jawaban. Ia sering menyimpan tafsir yang tak akan selalu selesai. Persis kisah-kisah mistis dari karomah para awliya.

Ia hanya dijadikan 'ibroh untuk wasilah syukur kepada Tuhan. Yang terpenting adalah bahwa dengan peristiwa itu, Tuhan mengirimkan keselamatan.

Tak selalu penting bertanya kenapa dan bagaimana Tuhan melakukannya. Termasuk saat NU keluar Masyumi.

Secara berkelakar, Mbah Wahab cuma mengatakan, NU butuh persatuan, tapi tidak sebagai kuda tunggangan.

"Orang lain yang menunggang, kita yang dipecuti," katanya menjawab tiap tanya kenapa dia menggiring NU, menggembosi Masyumi dan menjadi partai politik mandiri.

Pada pemilu 1955 itu, NU berhasil mendulang 18 persen suara nasional. "Karena itu, maka kita keluar dari Masyumi," ujar Mbah Wabah dengan kata bersayap.

Begitulah cara NU menyikapi masalah, termasuk hal-hal prinsip. Santai dan rileks tapi jelas maslahahnya, ada nalar dan alasan ruhaniyahnya.

"Supaya kita punya bus sendiri. Soal apakah sudah ada yang bisa nyopir apa belum, itu bukan masalah. Yang penting bus ini (parpol NU) punya kita. Kalau untuk menjalankannya butuh sopir, ya kita sewa saja dulu. Yang terpenting kita sudah punya bus sendiri," tukas Mbah Wahab terkekeh.

Baca juga: Manhaj NU, Staqufiyah dan Khilafah Utsmaniyah

Jika memanfaatkan nalar fiqih, maka fiqih sudah menyiapkan kaidahnya: termasuk dosa jika keluar dari jamaah Islam (Masyumi).

Tapi NU tidak selalu di tataran itu. NU mengambil hikmah dari setiap "maqashid syari'ah".

Kalau dengan bertahan di Masyumi, NKRI sebagai wasilah menjaga "Nurullah" rusak dan menutup jalan terang membangun peradaban manusia, maka keluar dari kaidah fiqih adalah jaiz. Demi menghindari "mafsadah"!

Ketika NU menghindari datangnya mafsadah, bangsa Indonesia memetik "maslahah". NKRI yang sekarang dimiliki Indonesia adalah maslahah itu.

NU menghindari kerusakan NKRI dengan label agama, demi maslahah yang lebih besar, yakni terjaganya Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945.

NU memilih negara sebagai wasilah, atas dasar pilihan sadar. Dengan memiliki bus sendiri berarti NU menggunakan jalan politik.

NU dan Politik

Dengan NKRI yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini, itu berarti pula NU telah mengantongi wasilah dalam mengikhtiarkan solusi dan alternatif dalam memperjuangkan tegaknya prinsip "ukhuwah basyariyah".

Lewat prinsip ini, peradaban manusia modern akan dibangun. Ukhuwah ini melengkapi tahapan dengan skala yang lebih "limited", yakni; "ukhuwah islamiyah" dan "ukhuwah wathoniyah".

Politik dalam membangun negara yang damai, aman, nyaman, selamat, adalah salah satu faktor penting lahirnya peradaban yang berkeadilan.

Berbeda dari jalan lain, politik adalah syarat sekaligus rukun mengelola solusi-solusi yang bisa ditawarkan kepada bangsa lain.

Baca juga: Manhaj NU, Staqufiyah dan Nasionalisme Abad 21

Bernegara juga berarti berpolitik. Ini bukan sekadar wacana dan dialektika. Catatan panjang jatuh bangunnya peradaban adalah catatan pergulatan politik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com