KOMPAS.com - Hampir dua tahun pandemi, virus corona Covid-19 masih terus mengalami mutasi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sampai memberi sejumlah nama pada varian virus corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 dengan alfabet Yunani.
Sebut saja mutasi Alfa (B.1.1.7), Beta (B.1.351), Gamma (P.1), Delta (B.1.617.2) dan yang terbaru Omicron (B.1.1 .529).
Baca juga: Varian Omicron Sudah Masuk Indonesia? Cek gisaid.org/hcov19-variants
Ahli patologi klinis Universitas Sebelas Maret (UNS) Tonang Dwi Ardyanto mengatakan, virus corona melakukan mutasi karena mereka ingin bertahan hidup di dalam inangnya.
"Pemahaman saya sampai saat ini, virus corona itu bermutasi tidak untuk menjadi lebih ganas, tapi lebih mudah menyebar dengan cara lebih bisa untuk menghindari sistem imun," ujar Tonang saat dihubungi Kompas.com, Rabu (8/12/2021).
Menurut Tonang, hal itu membuat virus tersebut mampu bertahan hidup, beradaptasi, sekaligus keberadaannya tidak terhenti.
"Bahkan dapat terjadi bahwa mutasi dilakukan untuk mengelabuhi sistem imun itu, terpaksa diikuti menurunnya keganasan," lanjut dia.
Dengan demikian, Tonang menambahkan, proporsi atau persentase orang yang terinfeksi tanpa gejala, dengan gejala ringan-sedang dan yang sampai berat-kritis, termasuk proporsi yang terpaksa berakhir fatal, kurang lebih tetap sama.
Ketika penyebaran virus yang kian meluas atau grafik kasus harian yang kembali naik, maka jumlah pasien yang memerlukan penanganan juga menjadi lebih banyak.
Apabila kondisi tersebut terjadi maka berpotensi melampaui batas kemampuan sistem pelayanan kesehatan, pelayanan sosial (terutama pelaksanaan isolasi dan pemakanan).
"Bila yang harus dirawat melebihi kapasitas perawatan di rumah sakit, maka perawatan menjadi tidak optimal," ujar Tonang.
Baca juga: Tes Covid-19 di Cikarang, Warga Jakarta Dinyatakan Terpapar Omicron Usai Pulang dari Luar Negeri