DI era merebaknya informasi seperti sekarang, media massa menghadapi tantangan tersendiri dalam mengolah dan menyajikan berita.
Agresivitas masyarakat dalam media sosial berperan dalam mengurangi kepercayaan publik pada institusi pers.
Di sisi lain, kadang jurnalis pun ikut menggunakan informasi dari media sosial tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu.
Analoginya, keberadaan pers dihancurkan dari luar dan dirusak dari dalam. Selalu ada pertempuran dari faktor luar dan dalam yang menggiring pembaca tidak bisa menyaring prioritas berita mana yang layak untuk diberi atensi. Malah berakhir tenggelam dalam arus informasi.
Faktor dari dalam merujuk pada kerja pers yang cenderung bias atau tendensius. Informasi yang melimpah membuat jurnalis tidak bisa membedakan mana kerja jurnalistik yang nyata dan kerja jurnalistik mengaburkan makna.
Dalam praktiknya, kerja jurnalistik yang mengaburkan makna disebut sebagai praktik jurnalisme kuning.
Dikatakan demikian karena berita sebagai produk jurnalistik telah keluar dari substansi oleh sebab didominasi oleh aspek-aspek bersifat sensasi, sadis, vulgar dan bahkan cabul yang didramatisir begitu rupa, jauh dari realita sesungguhnya (Malik:2017)
Di Indonesia, publik lebih mengenal jurnalisme kuning dengan sebutan infotainment. Meski naasnya tidak semua media mau disebut sebagai infotainment, kendati apa yang dilakukan lebih mirip kerja infotainment daripada jurnalisme itu sendiri.
Kerja jurnalisme kuning seringkali melompati proses verifikasi dari kedua pihak yang bersebrangan sehingga akurasinya patut dipertanyakan.
Sumber beritanya pun seringkali anonim, merujuk pada “kata orang” atau memberi porsi lebih pada satu narasumber saja. Sumber yang tidak otoritatif dalam kerja jurnalisme itu tidak bisa dipertanggung-jawabkan.
Dalam menghindari bias kerja, sebenarnya sudah ada kode etik jurnalistik yang mengatur panduan dalam membuat berita hingga tingkah laku jurnalis.
Namun melihat perkembangan informasi yang beredar seperti sekarang, rasanya pers tidak bisa bekerja sendiri.
Dalam buku BLUR: How To Know What’s True in The Age of Information Overload, jurnalis senior Amerika Serikat Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menambah elemen ke-10 dalam elemen kerja jurnalisme mereka.
Dalam elemen ke-10 ini, Kovach dan Rosenstiel mempertanyakan siapa yang bisa disebut sebagai jurnalis. Di era media digital, kini siapa saja bisa memproduksi konten. Warga bukan lagi menjadi konsumen media, masyarakat juga telah menciptakan media mereka sendiri.
Selain faktor dari dalam, ada juga faktor luar dari tantangan kerja jurnalistik di era sekarang. Faktor luar merujuk pada dampak dari kerja jurnalistik.