Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Karhutla dan Kabut Asap, Walhi: Ini Bencana Ekologis

Kompas.com - 15/09/2019, 14:22 WIB
Nur Rohmi Aida,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Sumatera dan Kalimantan menimbulkan kabut asap di sejumlah daerah.

Tercatat Kepulauan Riau, Jambi, Palembang, Banjarmasin, Palangkaraya bahkan negara tetangga Malaysia terselimuti kabut asap.

Kualitas udara yang memburuk menjadi persoalan tersendiri, salah satunya yakni meningkatkan penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di lokasi masyarakat yang terkena kabut asap.

Selain itu, jarak pandang yang terbatas bahkan membuat jadwal penerbangan dibatalkan.

Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, mungkinkah masalah kabut asap dijadikan bencana nasional?

Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Wahyu Perdana mengatakan terdapat beberapa indikator penetapan bencana nasional.

Baca juga: Riau Dikepung Kabut Asap, Greenpeace: Ini Indikasi Kegagalan Pemerintah

Bencana Nasional

Pertama soal berfungsi tidaknya pemerintah daerah, adakah akses terhadap sumber daya nasonal, dan apakah regulasi terhambat atau tidak.

“Kalau ketiganya terjadi itu baru bencana nasional,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Minggu (15/9/2019).

Menurut Wahyu, yang menjadi masalah saat ini, apakah pemerintah memandang kabut asap sebagai sebuah bencana ataukah tidak.

“Kalau buat kami ini bencana ekologis. Tapi dari cara pandang pemerintah kerapkali bencana hanya faktor alam padahal faktor luar banyak. Kerusakan itu termasuk bencana diperparah perilaku manusia,” katanya.

Wahyu menilai, kejadian kebakaran hutan yang terus berulang, terjadi karena kurang tegasnya penindakan hukum.

Ia mencontohkan tentang keputusan Mahkamah Agung, yakni pemerintah harus bertanggung jawab atas karhutla 2015 di mana salah satunya pemerintah harus membangun rumah sakit untuk korban asap, tetapi tidak ditindaklanjuti dan justru melakukan upaya hukum luar biasa melalui peninjauan kembali.

“Itu dimulai dari pemerintah. Ketidaktegasan penegakan hukum yang dimulai dari pemerintah itu sendiri, akhirnya berdampak kurangnya efek jera pada pelaku pembakaran sebelumnya,” kata dia.

Wahyu juga berpendapat, seharusnya penindakan juga bukan hanya pada pelaku lapangan. Tetapi seharusnya juga dari kalangan perusahaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com