KOMPAS.com - Sepak bola Indonesia kembali hidup bersamaan dengan berlangsungnya turnamen pramusim Piala Menpora 2021.
Pihak kepolisian memberikan izin bergulirnya even sepak bola nasional untuk kali pertama sejak pandemi virus corona merebak di Tanah Air.
Izin kepolisian bukan hal yang mudah. Pihak keamanan tersebut memberikan izin dengan catatan keras soal protokol kesehatan (prokes).
Polri awalnya tidak mau ambil risiko mengingat pandemi belum menurun. Akan tetapi, Menpora dan PSSI terus memaparkan prokes yang nantinya diterapkan.
Baca juga: 2 Pilar Utama Persib Bandung Absen pada Leg Kedua Final Piala Menpora
Salah satu keputusan yang membuat polisi ragu adalah suporter klub peserta.
Seperti diketahui, suporter Indonesia begitu fanatik sehingga larangan untuk tidak datang ke stadion takut tak dipatuhi.
Nyatanya, aturan tersebut disadari oleh suporter klub. Pendukung klub peserta Piala Menpora tak datang ke stadion dan memilih mendukung dari rumah.
Meski demikian, keramaian Piala Menpora masih tetap terasa, tepatnya di media sosial.
Sebagai contoh, di platform Twitter. Setiap ada laga, nama tim, pemain, ataupun pelatih muncul di daftar trending topic.
Baca juga: Piala Menpora 2021, Ajang Bersinarnya Pemain Lokal
Pertumbuhan interaksi maupun produksi konten klub-klub peserta meningkat drastis seiring Piala Menpora bergulir.
Seperti halnya data yang disodorkan oleh mantan Digital Promotion PSSI, Gerry Maulana Thiar, di Twitter.
Gerry menunjukkan pertumbuhan signifikan soal jumlah pengikut, produksi konten, hingga interaksi warganet.
Marhaban Ya Balbalan
Setelah satu tahun, sepak bola Indonesia (terkhusus Liga 1) kembali.
Impaknya ke dunia persosialmediaan kerasa banget. pic.twitter.com/0n6h9dviEn
— Gerry Maulana Thiar (@gmthiar) April 12, 2021
Konten dari klub ini bervariasi, tetapi penyampaian soal prokes dan aturan jangan datang ke stadion terus dikampanyekan.
Konten dari klub peserta tersebut punya andil besar pada kampanye prokes.
Baca juga: Piala Menpora 2021 dan Pembuktian Slogan Marhaban Ya Bal-balan
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Fajar Junaedi, menyebutkan bahwa kondisi tersebut membuktikan media sosial masuk ke dalam kategori 2.0.