Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sambal Nusantara, Membuat Orang Eropa Menangis

Kompas.com - 12/09/2020, 14:47 WIB
Serafica Gischa

Penulis

KOMPAS.com - Siapa yang tak suka dengan sambal? Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, sambal menjadi sebuah hidangan wajib untuk disantap. Baik sebagai pendamping lauk atau justru menjadi masakan utama.

Sejarah sambal di Indonesia ternyata sudah ada sejak abad ke-10. Dilansir dalam buku Indonesia Poenja Tjerita (2016) karya Eka Saputra, Pendeta PJ Veth mengatakan bahwa cabai sudah ada pada masa Jawa kuno dan menjadi komoditas perdagangan yang langsung dijual. Bahkan dalam teks Ramayanan menyebutkan cabai sebagai salah satu jenis makanan.

Membuat noni-noni Belanda menangis

Pada zaman penjajahan Belanda tidak sedikit noni-noni atau perempuan Belanda yang ikut datang ke Indonesia. Bahkan ada beberapa orang Belanda yang dengan sengaja datang berkunjung ke Indonesia sebagai turis.

Dalam beberapa buku panduan turisme yang dibawa mereka, dituliskan bahwa para calon wisatawan harap berhati-hati ketika menyantap sambal karena rasanya yang pedas dan membuat perut sakit.

Baca juga: Siapa Pemilik Mobil Pertama di Indonesia?

Saat itu di Eropa memang tidak terlalu familiar dengan jenis makanan sambal. Rasa pedas yang orang Eropa tahu hanya sebatas lada, merica, dan cabai.

Salah satu pengusaha cerutu asal Amsterdam, Justus Maurik menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke Batavia. Pada sebuah acara, dihidangkan menu rijsttafel dan salah satu menunya adalah spaanse peper atau cabai rawit.

Di sana dirinya melihat banyak noni-noni Belanda yang menjadi tamu jamuan memiliki wajah yang memerah di pipinya dan matanya berair seperti akan menangis.

Salah satu jurnalis Belanda, Augusta Wit juga memiliki pengalaman yang sama ketika menyantap sambal pada kunjungannya di Batavia.

Bahkan dirinya mengatakan bahwa pengalamannya mencicipi sambal menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Di mana dia merasakan bibirnya gemetar kepedasan, lehernya seperti terbakar dan air mata bercucuran.

Baca juga: Siapa Pelompat Terbaik Dunia?

Dibawa ke Belanda

Pada zaman kolonial Belanda di Indonesia, para pembantu rumah tangga yang mahir membuat sambal akan mendapatkan tempat khusus karena membaut majikan senang.

Sehingga para pembantu rumah tangga yang pintar membuat sambal akan memiliki harga pasaran yang cukup tinggi saat itu.

Karena saking sukanya, banyak orang Belanda yang akan membawa pembantu rumah tangganya ikut kembali ke Belanda. Seiring dengan berjalannya waktu dan dengan keahlian membuat sambal, banyak para pembantu itu membuka rumah makan indies di Belanda.

Tradisi makan sambal

Pernahkah kalian mengambil sambal tapi hanya ditaruh di pinggir piring dan tidak dicampur dengan nasi? Tradisi tersebut ternyata pertama kali dilontarkan oleh Louis Couperus.

Dalam bukunya Oostwaarts (1992), dirinya mengingatkan para turis yang belum pernah mencicipi sambal ulek untuk tidak mencapurnya di nasi. Melainkan meletakkan sambal tersebut di pinggir piring.

Kemudian untuk menikmatinya, setiap suap nasi ditenami oleh daging ayam, sapi, atau ikan untuk kemudian dicocolkan sedikit pada sambal.

Baca juga: Sejarah Pakaian: Dari Kulit Hewan Hingga Kain

Saus sambal kemasan botolshutterstock.com Saus sambal kemasan botol
Revolusi industri Eropa

Dilansir dari Encyclopaedia Britannica (2019), pada saat revolusi industri yang melanda Eropa pada abad ke-18, kegiatan produksi dibuat secara massal.

Warga Eropa yang ingin merasakan sensasi sambal, namun tidak bisa membuat sambal dengan cobek akhirnya memodifikasi sambal tersebut menjadi saus sambal dan tomat yang dikemas dalam botol.

Meski begitu, rasa sambal tetap berbeda. Sambal ulek tetap memberikan sensasi dan pengalaman yang berbeda.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com