FILM adalah medium penting untuk mengisahkan cerita kultural dan politis. Melalui konstruksi narasi, film dapat menciptakan pedagogi publik.
Hooks (1996) mengatakan,“mungkin bukan maksud pembuat film untuk mengajari penonton apa pun, tetapi itu tidak berarti bahwa pelajaran tidak dipetik”.
Film adalah elemen soft power, sebuah alat hegemoni budaya yang bisa menghadirkan ide tentang apapun termasuk gagasan sosial politis seperti keadilan sosial. Salah satu contoh adalah November 1828 (1979).
Film Teguh Karya ini membenturkan nilai-nilai Jawa dan nilai-nilai kolonial Barat. Teguh menggambarkan perlawanan rakyat terhadap kolonialisme Belanda selama Perang Jawa (1825-1830).
Sebagai sebuah produk budaya, film bisa berperan sebagai medium propaganda dan punya sifat hegemonik.
Perihal terakhir ini, kekuatan hegemonik, pernah disampaikan Antonio Gramsci (1891-1937). Ia mengatakan bahwa sebuah kekuasaan dapat diraih melalui kekerasan atau melalui persetujuan bersama.
Cara yang terakhir ini dipandang dapat dilakukan secara efektif jika pelaku, pihak yang berkuasa, menempuh jalur kebudayaan.
Pembicaraan tentang film sebagai alat propaganda akan membawa kita kepada Teori Kritis, teori yang dilahirkan oleh Institute for Social Research di Jerman sebagai sebuah kritik atas pemikiran Karl Marx.
Teori ini mengkaji fenomena sosial secara ilmiah dan kritis. Sebuah penelitian punya potensi untuk mengintervensi pembaca sehingga mereka bisa memiliki paradigma baru lalu mengubah praktik.
Dalam konteks tulisan ini, mereka yang berpotensi mengubah kesadaran penonton adalah para pembuat film. Kendaraan untuk melakukan revolusi kesadaran ini adalah kesenian.
Salah satu tokoh Teori Kritis, Adorno, berpendapat bahwa industri budaya menjual produk budaya sebagai komoditi dan sinema adalah sektor sentral industri budaya dan hal ini amat berkaitan dengan kekuasaan.
Oleh karena itulah, film punya kekuatan untuk jadi artikulator penguasa, menjadi alat diseminasi ideologi, dan mampu reproduksi kekuatan sosial yang dominan.
Hal ini terjadi karena kontrol dan dominasi terhadap massa adalah salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh kaum kapitalis atau para pencipta industri budaya.
Kita bisa saksikan film Janur Kuning yang merepresentasikan Soeharto sebagai pejuang dalam perang gerilya yang dipimpin Jenderal Sudirman.
Menurut sejarawan Avi Adam, Soeharto diketahui tengah makan soto dengan anak buahnya saat serangan itu dimulai.