DARI album ke album, dari Tulus (2011) hingga ke Manusia (2022), ada yang konsisten yang dibagi Tulus: tentang semesta hubungan antarmanusia dan problematikanya.
Bukan saja bahwa, seperti ditulis Kompas, liriknya “manis”, “romantic”, “indah”, dan seterusnya, Tulus sebetulnya menawarkan hal yang lebih instrinsik.
Terutama, soal perjumpaan dan perpisahan manusia dengan titik tengah: kebersamaan.
Modus “bersama” merupakan titik temu dari ketegangan “temu” (sisi kanan, sisi termanis, nirwana) dan “pisah” (sisi kiri, sisi terpahit, neraka).
Dalam filsafat eksistensialisme, kemampuan menenggang manisnya pertemuan dan pahitnya perpisahan dirangkum dalam “modus dialogis”.
Dialog bukan sesuatu yang terberi begitu saja, melainkan diperjuangkan dengan letih.
Tanpa perjuangan yang letih dan penuh luka ke dalam diri, membisikkan di telinga sang kekasih yang terpisah jalan dengan “Hati-Hati di Jalan” mustahil dilakukan.
Alih-alih berucap “Hati-Hati di Jalan”, yang dilakukan adalah makian, tuntutan harta gona-gini, membikin keributan saling buka aib di media sosial 7 hari 7 malam.
Praktik membuka aib dua kekasih itu disebut “modus reaktif”, sementara saling mendoakan tatkala kebersamaan tak dicapai adalah “modus responsif”.
Bagi Tulus, dalam suasana kedirian yang paling pahit sekalipun, “manusia dialogis” dengan “modus responsive” selalu bertanya balik ke diri dan melakukan pemaafan.
Dengarkan lagu “Diri”—satu dari 10 lagu di album Manusia (2022)—dan dendangkan lirik ini: Kau berdamai dengan dirimu sendiri/ kau maafkan semua salahmu ampuni dirimu.
Tulus dalam "Hati-Hati di Jalan" menyebut betapa tidak mudahnya kau aku menjadi "KITA". \
atkala Tulus memakai frasa “Kita” dan bukan “Kami”, saya teringat Fuad Hassan dalam disertasinya di UI pada 1967 yang kemudian terbit dengan judul Kita dan Kami: Suatu Analisa tentang Modus Dasar Kebersamaan (1974).
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1985—1993 dan sekaligus psikolog ini menjelaskan dengan gamblang apa ciri "Kita" dan "Kami".
“Kita”, tulis Fuad Hassan yang pernah bercita-cita jadi konduktor dan ikut tes masuk sekolah musik di Roma ini, merupakan suatu kebersamaan demi inklusi, sementara “Kami” adalah suatu kebersamaan demi eksklusi.