WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Hacker DarkSide menjadi buruan Pemerintah Amerika Serikat, dengan imbalan 10 juta dollar AS (Rp 143 miliar) bagi yang memiliki informasi mengarah ke penangkapannya.
Hacker DarkSide adalah kelompok peretas yang menyandera data dan meminta uang tebusan di dunia maya, istilahnya ransomware.
AS juga menuding hacker DarkSide sebagai dalang di balik terhentinya operasional Colonial Pipeline, jaringan pipa minyak utama "Negeri Paman Sam", pada Mei 2021.
Baca juga: Buru Hacker DarkSide, AS Tawarkan Hadiah Rp 143 Miliar
Menurut koresponden New York Times Andrew Kramer kepada NBC News pada 2 Juni 2021, hacker DarkSide memiliki model bisnis yang lebih familiar daripada yang dipikirkan orang-orang.
"Mereka mengoperasikan sesuatu seperti waralaba, di mana peretas individu dapat datang dan menerima perangkat lunak ransomware dan menggunakannya, serta, menggunakan reputasi DarkSide, seolah-olah, untuk mengekstrak uang dari target mereka, sebagian besar di Amerika Serikat," terang Kramer dalam wawancara.
Ransomware adalah jenis perangkat lunak berbahaya yang dirancang untuk memblokade akses ke sistem komputer.
Peretas menuntut pembayaran tebusan sebagai imbalan untuk memulihkan akses. Colonial Pipeline dilaporkan membayar uang tebusan 5 juta dollar AS (Rp 71,26 miliar) ke hacker DarkSide.
Kramer lebih lanjut memaparkan di program The News with Shepard Smith milik NBC, model bisnis waralaba memungkinkan peretas memiliki pengetahuan komputer yang jauh lebih sedikit daripada yang mereka butuhkan, karena diberi perangkat lunak siap pakai dari DarkSide.
"Anda melakukan satu bagian kecil darinya, dan sisanya dibeli," ujar Kramer.
Baca juga: Misteri Hilangnya Rp 8,8 Triliun Uang Kripto, Dikembalikan Hacker dengan Pesan Aneh
Dikutip dari DW Indonesia, FBI mengatakan, DarkSide bermarkas di Rusia dan bertanggung jawab atas serangan siber pada Mei yang sempat melumpuhkan jaringan pipa minyak dan gas Colonial Pipeline.
Tidak beroperasinya jaringan pipa tersebut mengakibatkan penutupan tempat pengisian bahan bakar selama berhari-hari di AS dan menyebabkan kenaikan harga gas dan kekurangan bahan bakar di beberapa bagian.
Kantor berita AFP pada Kamis (4/11/2021) mewartakan, tidak semua pakar keamanan siber yakin imbalan akan efektif dalam menangkap peretas.
"Tidak adanya pemburu hadiah yang bersedia memasuki yurisdiksi mereka, memasukkan tubuh mereka yang tidak sadar ke dalam tas dan menaruhnya di kedutaan AS terdekat, saya ragu ini akan berdampak besar," kata John Bambenek di Netenrich, perusahaan operasi keamanan dan IT.
"Jujur saja, itu pasti tidak banyak berdampak," tambahnya.
Kejahatan dunia maya berkembang pesat. Data baru yang keluar pada Oktober 2021 menunjukkan pembayaran 590 juta dollar AS (Rp 8,39 triliun) terkait ransomware, dilaporkan ke otoritas AS khusus paruh pertama tahun 2021 saja.
Angka tersebut juga 42 persen lebih tinggi dari jumlah yang diungkapkan oleh lembaga keuangan selama 2020, kata laporan Kementerian Keuangan AS, dan ada indikator kuat bahwa biaya sebenarnya kemungkinan dalam miliaran dollar.
Perusahaan dan institusi menghadapi tekanan kuat untuk membayar agar data mereka tidak terkunci, tetapi juga untuk menjaga serangan dari klien dan otoritas yang berpotensi mengeluarkan peringatan keras agar tidak memberikan uang tunai kepada penjahat.
Baca juga: Mr White Hat, Pencuri Kripto Rp 8,8 Triliun, Kembalikan Semua Curiannya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.