SEKOLAH elite selama ini sering dianggap sebagai tempat aman, di mana pendidikan berkualitas tinggi dan budaya akademis mendominasi.
Namun, di balik tirai prestise, kejadian perundungan di sekolah Binus School Serpong membuka mata bahwa kekerasan bukan hanya milik sekolah rakyat yang dihuni anak-anak miskin secara ekonomi dan paceklik perhatian orangtua dan lingkunganya.
Kekerasan juga bisa dialami dan dilakukan anak-anak pesohor yang mapan secara ekonomi dan tentu saja orangtua mereka lebih berpendidikan.
Muncul pertanyaan yang mengganggu: Mengapa bullying juga dapat menyelinap ke dalam koridor sekolah elite dan tidak terdeteksi? Padahal, jumlah siswa di sekolah tersebut tidak sebanyak siswa di sekolah negeri, yang harusnya bisa lebih diawasi dengan ketat.
Meskipun terkadang tersembunyi di balik citra sempurna, bullying juga dapat ditemukan di sekolah elite.
Bentuk bullying juga tidak berbeda, lebih sering terjadi secara nonverbal, verbal atau sosial.
Siswa di sekolah elite, biasanya mengalami tekanan akademis tinggi dan persaingan sengit yang dapat menjadi katalisator perilaku negatif.
Peristiwa yang terjadi di sekolah Binus Serpong relatif ekstrem. Korban dianiaya dengan cara dipukul, disundut dengan rokok, disundut pakai korek api yang sudah dipanaskan ujungnya, dicekik.
Korban juga diikat ke tiang di warung tempat TKP oleh 11 temannya. Warung itu semacam markas mereka.
Perundungan ini kali kedua dialami korban. Para pelaku tidak terima karena korban menceritakan kejadian penyiksaan sebelumnya kepada kakak perempuannya, yang menyebabkan para pelaku kembali melakukan kekerasan.
Penganiayaan beruntun memang kerap dialami korban bullying. Mereka yang mengadu biasanya akan mendapat penganiayaan lebih berat.
Kondisi ini yang menjadi penyebab sebagian korban bullying mungkin merasa enggan melapor. Ini menciptakan tantangan dalam mengidentifikasi dan menanggapi bullying dengan efektif.
Sekolah elite seringkali menetapkan standar akademis sangat tinggi. Hal ini dapat menciptakan lingkungan kompetitif.
Para siswa mungkin merasa terbebani oleh ekspektasi yang tinggi, dan bullying bisa menjadi hasil dari tekanan ini.
Perbandingan antarsiswa berdasarkan pencapaian akademis atau prestasi ekstrakurikuler dapat menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan dan memicu tindakan bullying.