Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dosen UGM Soroti Masalah Sampah Visual Saat Masa Kampanye Pemilu 2024

Kompas.com - 21/01/2024, 17:16 WIB
Sania Mashabi,
Dian Ihsan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Masa kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sedang berlansung. Hal itu menyebabkan banyak baliho, spanduk, dan poster calon presiden maupun legislatif marak di tepi jalan.

Melihat kondisi tersebut, Dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Bakti Setiawan menilai, keberadaan alat peraga kampanye itu telah menimbulkan masalah sampah visual.

Baca juga: Seleksi CBT UGM 2024 Akan Diambil dari Nilai UTBK-SNBT

"Saya kira isu sampah visual itu bukan barang baru dan tidak hanya terjadi di tahun politik. Jadi itu isu lama yang belum terpecahkan," kata Prof. Bakti dilansir dari laman resmi UGM, Sabtu (20/1/2024).

Prof. Bakti memahami memasang alat peraga kampanye di jalan adalah salah satu bentuk demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia.

Namun, hal itu tentu harus tetap memperhatikan aspek kenyamanan dan keindahan setiap kota.

"Masalah sampah visual setiap pelaksanaan pemilu harusnya sudah mendapat perhatian lebih dari setiap kepala daerah," ujarnya.

"Pemasangan baliho dan spanduk yang tidak teratur, poster yang berserakan di jalanan, hingga bendera parpol yang entah kapan akan dilepas menambah pelik permasalahan sampah di Yogyakarta," lanjut Prof. Bakti.

Menurut Prof. Bakti, saat ini publik ataupun partai politik juga sudah banyak mulai mempertanyakan efektivitas pemasangan baliho dan poster di jalan.

Baca juga: Ini 4 Jalur Mandiri UGM 2024, Ada Kuota 3.720 Mahasiswa

Olen karena itu, Prof. Bakti menyarankan adanya evaluasi terkait tata yang baik untuk memasang alat peraga kampanye, agar kota tetap indah dan efektif.

"Seharusnya memang diperlukan evaluasi untuk mendapatkan standar dari keindahan kota. Kalau kita menilai keindahan itu kan seringkali subjektif," tuturnya.

Baca juga: Biaya Kuliah Jurusan Kedokteran UI, UGM, Unpad, Unair, dan UB pada 2024

"Selama ini juga evaluasi itu dilakukan sendiri oleh seniman atau pembuat advertising tersebut, padahal akhirnya yang mengevaluasi juga masyarakat," pungkas Prof. Bakti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com