PADA minggu pagi akhir bulan ini, pesawat Ittihad yang kami tumpangi mendarat di bandara. Pada musim dingin ini, udara di Istanbul, Turkiye, cukup mengigil, di bawah sepuluh derajat celcius.
Bagi orang Indonesia, kondisi itu sudah perubahan mendadak, dari rata-rata tiga puluh derajat. Jaket hangat sudah kami siapkan dari rumah, berikut juga krem kulit, pelembab bibir, celana panjang dalam, dan syal. Beberapa dari kolega bahkan sudah menyiapkan topi tebal musim dingin.
Kalau sudah menginjak Turkiye dan melewati selat Bosporus, angan dan bayangan jauh melintasi ruang dan waktu yang panjang, sekarang dan masa lalu, Eropa dan Asia.
Turkiye penuh dengan sejarah penting manusia dan bagi Indonesia adalah sejarah Islam. Turkiye adalah lokasi manusia pra-sejarah tertua dua puluh ribu tahun lalu, seperti di Gobekli Tepe, khalifah Turkiye Utsmani yang menguasai dunia dan runtuh, sekularisasi dan modernisasi yang Republik Turkiye yang heboh, dan saat ini era Erdogan yang unik.
Ingatan melayang kemana-mana. Bus dari bandara di benua Eropa menuju benua Asia, menuju tujuan kami, sahabat kerja sama kami universitas Kirikkale. Kami akan menjalin kerja sama dalam pendidikan dan riset dengan bangsa tua ini.
Universitas Kirikkale terletak di kota Kirikkale, satelit dekat dengan Ankara, seperti Depok bagi Jakarta. Dengan bus kami menempuh 6 jam dari Istanbul, berhenti makan di rest area dua kali.
Sampai di universitas partner, sambutan ramah luar biasa: rektor, wakil rektor, dan para dekan.
Dalam perbincangan bebas, kami ingin saling bertukar pikiran dan mengingat pertemuan-pertemuan di Yogyakarta ketika mereka berkunjung.
Dalam banyak diskusi formal dan informal, dimulai dari sejarah Turkiye, relasi Nusantara sebelum kemerdekaan dan sekularisasi Turkiye, sampai kebijakan pendidikan masa kini.
Kami secara otomatis membandingkan apa yang Turkiye lakukan dengan yang kita jalani di Indonesia. Sekadar refleksi yang bisa menyegarkan pikiran, tidak sekadar menikmati bukit-bukit kecil di sekitar jalan yang ditaburi salju tipis-tipis.
Sambil berdiskusi dan sering dengan penghantar minum teh (cay), dan kopi Turkiye yang dipanaskan dengan pasir, pikiran menerawang. Refleksi bolak-balik antara masa lalu dan kini, Indonesia dan Turkiye.
Sejak berdirinya Republik Turkiye modern 1923 tidak hanya soal runtuhnya kekhalifahan Turkiye Utsmani, sekularisasi (pemisahan urusan agama dan negara), penegakan hukum Eropa dan membebaskan beban sistem hukum Islam di negara, modernisasi di semua penjuru.
Yang lebih penting bagi kami adalah Mustafa Kemal Ataturk mencanangkan reformasi pendidikan bagi bangsa Turkiye secara revolusioner.
Pendidikan juga langkah penting dalam pendirian republik baru. Pendidikan itu penting. Penting sekali.
Memang, dunia Muslim waktu itu berduka, muram karena sirnanya khalifah di bumi. Setengah menangis dan tidak paham kenapa sistem khalifah dihapus? Apa yang terjadi, kenapa kekhalifahan runtuh dari dalam Turkiye sendiri?