Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Unair Ingatkan Rencana Tarif KRL Berdasar Status Ekonomi Bisa Jadi Sensitif

Kompas.com - 04/01/2023, 13:37 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana melakukan pembedaan tarif kereta rel listrik (KRL) berdasarkan status ekonomi penumpang.

Penumpang dengan status kaya harus membayar tarif normal, sementara penumpang dengan status ekonomi rentan hingga miskin akan tetap mendapatkan subsidi.

Baca juga: 9 Pekerjaan Freelance buat Mahasiswa, Gaji Bisa di Atas Rp 7 Juta

Meski seolah-olah memihak masyarakat kelas bawah, tetapi kebijakan tersebut menuai pro-kontra dari berbagai kalangan.

Menanggapi hal itu, Pakar Sosiologi Unair, Prof. Bagong Suyanto mengatakan penggolongan masyarakat berdasarkan kelas ekonomi sebenarnya merupakan hal yang biasa dalam penentuan kebijakan publik, terlebih lagi hal itu berkaitan dengan penyesuaian subsidi.

Namun demikian, kata dia, pemerintah cenderung abai dengan realitas bahwa kelas sosial dan status ekonomi merupakan isu yang sensitif di Indonesia.

"Sebetulnya sudah biasa dalam hal kebijakan dan layanan publik. Artinya, ada kelompok yang membayar lebih tinggi, ada pula yang membayar lebih rendah," ucap dia dalam keterangannya di laman Unair, Rabu (4/1/2023).

Hanya saja, kata dia, di Indonesia, status sosial-ekonomi masyarakat menjadi isu sensitif.

"Jadi, kalau dibedakan begitu dengan penggunaan istilah si kaya dan si miskin, mungkin saja bisa menyakiti hati kalangan tertentu," ungkap dia.

Berbagai pihak cenderung menyangsikan wacana perubahan tarif KRL tersebut.

Baca juga: Dua Sekolah Kedinasan Tanpa Syarat Tinggi Badan, Siap-siap Daftar 2023

Tidak hanya dari efektivitasnya, tetapi juga dari aspek sosial, seperti potensi munculnya konflik horizontal di masyarakat.

Meski demikian, Prof. Bagong beranggapan kebijakan itu tidak berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat.

Dengan status ekonomi yang dimiliki, kelas menengah ke atas sudah seharusnya memahami tujuan dari kebijakan tersebut.

Sehingga, hal itu diharapkan dapat menekan terjadinya konflik dan gesekan di masyarakat.

"Kalau memicu konflik saya kira tidak. Saya kira mereka yang dari golongan kelas menengah ke atas itu bukan pihak yang menuntut apa yang telah dibayarkan. Artinya mereka juga harus tahu dan paham arah tujuan kebijakan ini," ungkap Prof Bagong.

Lanjut dia mengatakan, pemerintah justru perlu waspada terhadap munculnya reaksi berbeda dari golongan masyarakat dengan status ekonomi rentan hingga miskin.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com