KOMPAS.com - Merespons kasus kematian Mahsa Amini, warga Iran melakukan serangkaian demonstrasi untuk memprotes aturan jilbab, juga pemerintahan yang dianggap otoriter.
Di media sosial, beredar narasi bahwa Pemerintah Iran menjatuhi hukuman mati terhadap 15.000 orang yang terlibat demonstrasi itu.
Narasi itu pertama kali disebarkan oleh situs Newsweek, hingga disebarkan oleh Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau.
Melalui twitnya, ia mencela keputusan Iran atas hukuman mati terhadap 15.000 demonstran.
Meski twit itu telah dihapus dan Newsweek telah mengoreksi laporannya, tetapi misinformasi terlanjur beredar.
Lantas, bagaimana awal mula misinformasi ini menyebar dan faktanya? Berikut penjelasannya.
Angka 15.000 merupakan perkiraan jumlah pendemo yang diyakini telah ditangkap berdasarkan data organisasi hak asasi manusia dan media yang berbasis di luar negeri.
Kantor Berita Aktivis Hak Asasi Manusia (HRANA) menyebutkan jumlah pendemo yang tewas mencapai 344, termasuk 52 anak-anak, dan mengatakan 15.820 pengunjuk rasa lainnya telah ditahan.
Dilansir dari Al Jazeera, Rabu (16/11/2022), narasi hukuman mati berkembang karena pernyataan parlemen Iran yang mengakibatkan mutlitafsir.
Sebanyak 227 dari 290 anggota parlemen Iran menandatangani pernyataan yang menyebut bahwa orang yang terlibat dalam moharebeh harus ditangani dengan tegas.
Mahorebeh adalah sebutan untuk mereka yang terlibat aksi melawan Tuhan.
Sementara, kata moharebeh dalam konteks lain diartikan sebagai dakwaan untuk menjatuhkan hukuman mati di Iran.
Pernyataan itu sempat dikritik oleh warga Iran, kemudian anggota parlemen mencoba mengklarifikasi bahwa tidak semua demonstran harus diekeskusi mati.
Iran memang menghukum mati demonstran yang memprotes aturan berpakaian di negaranya.
Meski namanya tidak diumumkan ke publik, tetapi hukuman mati dijatuhkan kepada seorang "perusuh".