KOMPAS.com - Peneliti menemukan bahwa misinformasi dan disinformasi yang disebar melalui Shorts atau video pendek, lebih sulit terdeteksi dibanding video panjang YouTube.
Amerika Serikat tengah menjalankan pemilihan umum. Menyambut pesta demokrasi ini, lembaga yang mengkaji sebaran disinformasi merasa khawatir akan adanya titik buta dalam pencegahan hoaks di YouTube selama ini.
Secara khusus, mereka khawatir soal fitur di YouTube yang dikemas mirip TikTok, yang memungkinkan pengguna membuat video sangat pendek. Fitur ini biasa disebut dengan Shorts.
Dilansir dari New York Times, Sabtu (5/11/2022), kepala integritas digital di Institute for Strategic Dialogue (ISD), Jiore Craig mengatakan mereka kesulitan memantau video untuk mencari sebaran misinformasi karena memiliki akses terbatas ke data.
Baca juga: Aksi Seleb Impersonasi Elon Musk, Kritik Centang Biru Berbayar yang Berpotensi Disinformasi
ISD merupakan organisasi nirlaba yang melawan ekstremisme dan disinformasi.
Organisasi nilaba ini tengah mencari tahu mengapa misinformasi tetap menyebar meskipun platform YouTube telah mengeluarkan miliaran dolar untuk menyediakan moderator konten.
“Tim kami berusaha mencari celah dari entitas yang memiliki sumber daya yang baik yang dapat melakukan pekerjaan semacam ini,” kata Craig.
Langkah mencegah hoaks juga dilakukan oleh platform media sosial lainnya, seperti Facebook dan Twitter.
Adapun sebaran hoaks di YouTube dinilai sering berada di bawah radar, meskipun pengaruh sebarannya luas.
Seorang juru bicara YouTube mengatakan bahwa perusahaannya telah melakukan upaya untuk memerangi misinformasi dan disinformasi, terutama di masa pemilu.
"Kami telah banyak berinvestasi dalam kebijakan dan sistem kami untuk memastikan kami berhasil memerangi misinformasi terkait pemilu dengan pendekatan berlapis-lapis,” kata juru bicara YouTube, Ivy Choi dalam sebuah pernyataan.
Baca juga: Media di Indonesia Masih Tergolong Minim Disinformasi Berdasarkan GDI
Menurut data YouTube, terhitung sejak April hingga Juni, mereka telah menghapus sekitar 122.000 video yang berisi misinformasi.