KOMPAS.com - Riset Network Contagion Research Institute (NCR) menemukan bahwa penebar teori konspirasi di media sosial mulai beralih dari isu QAnon dan Covid-19, ke disinformasi tentang krisis yang disebabkan oleh perang antara Rusia dan Ukraina.
Hal ini tampak dari gerombolan akun Twitter yang sebelumnya mempromosikan QAnon dan teori konspirasi anti-vaksin, yang kini mulai mendorong gagasan bahwa negara-negara Barat bertanggung jawab atas gangguan ekspor biji-bijian dari Ukraina.
Adapun NCRI sendiri merupakan lembaga riset yang melacak misinformasi dan manipulasi di media sosial.
"Ada tumpang tindih yang signifikan antara QAnon dan komunitas anti-vax dan konspirasi online lainnya," kata Alex Goldenberg, analis intelijen utama di NCRI dan seorang peneliti di Rutgers Miller Center for Community Protection and Resilience, dilansir dari The Guardian, Senin (1/8/2022).
Baca juga: Meta Pertimbangkan Perubahan Kebijakan soal Misinformasi Covid-19
Menurut laporan NCRI, kelompok ini sering menghubungkan meningkatnya krisis pangan dengan komplotan rahasia, hingga elite Yahudi, untuk mewujudkan apa yang mereka sebut tatanan dunia baru, alih-alih membahas fakta mengenai invansi Rusia ke Ukraina.
NCRI, bersama dengan Rutgers Miller Center, melakukan analisis sumber terbuka terhadap situs web dan disinformasi yang disebarkan pihak Rusia.
Terdapat beberapa kata kunci sekaligus isu yang kerap digaungkan oleh kelompok tersebut, yakni forum ekonomi dunia, agenda depopulasi, hingga scandemic.
"Kami melihat aktor disinformasi yang sama terlibat dalam aktivitas ini pada awal pandemi, yang memicu mobilisasi dunia nyata dan, terkadang, aktivitas ekstremis," ujar Goldenberg.
Baca juga: Propaganda Konflik Rusia-Ukraina di TikTok, Bagaimana Sebaran dan Penanganannya?
Pihaknya memprediksi, teori konspirasi ini akan semakin cepat menyebar jika krisis pangan memburuk dalam beberapa bulan mendatang dan dapat dibicarakan ke dalam wacana arus utama.
"Jika kerawanan pangan terus meningkat, kami mengantisipasi bahwa aktor disinformasi mulai dari media pemerintah Rusia hingga komunitas konspirasi online di Telegram akan mengeksploitasi situasi untuk menabur narasi yang dimaksudkan untuk menabur ketidakpercayaan pada sistem dan institusi politik audiens target," kata Goldenberg.