KOMPAS.com - Pembantaian masyarakat Tionghoa di Batavia pada 1740 oleh VOC memicu perlawanan di Jawa Tengah, disusul daerah lainnya. Masyarakat Jawa dan Tionghoa bersatu untuk melawan penjajah.
Sedikitnya 7.000 hingga 10.000 orang Tionghoa di Batavia dibunuh oleh VOC dalam dua hari, pada 9-10 Oktober 1740.
Orang-orang Tionghoa yang selamat dari pembantaian terpaksa melarikan diri ke Timur, utamanya ke Lasem dan Semarang.
Mereka bergabung dengan pasukan Mataram yang menentang kesewenang-wenangan Kompeni.
Orang-orang Jawa dan Tionghoa menghimpun kekuatan, lalu melakukan perlawanan yang memicu Perang Kuning atau Geel Oorlog, yang berlangsung antara 1741-1743.
Baca juga: Pembantaian Geger Pecinan 1740 dan Perlawanan Bangsa Tionghoa ke VOC
Perang meletus mulai dari Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Kudus, Purwodadi, Rembang, terus meluas hingga bagian timur, seperti Lasem, Tuban, dan Surabaya.
Juga ke Surakarta, Yogyakarta, Banyumas, Pacitan, Madiun, dan Malang. Bahkan, peperangan ini juga melibatkan pasukan-pasukan Madura dan Bugis.
Tay Wan Soey atau Kapitan Sepanjang, memimpin pasukan Tionghoa yang berhasil melarikan diri dari Batavia.
Dikutip dari buku Geger Pecinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC (2013), sementara beberapa masyarakat Tionghoa dari Batavia masih bertahan di sekitar Bekasi, orang Tionghoa di Jawa bagian tengah mulai menghimpun diri.
Saat itu, Kapiten Sepanjang dan masyarakat Tionghoa yang selamat, dikejar oleh pasukan Kompeni di bawah komando Abraham Roos.
Sementara, para penguasa pribumi di Cirebon mencoba mengelabui Kompeni, dengan menahan laju kedatangan pasukan Tionghoa setengah hati. Ini dimaksudkan agar tidak dicurigai.
Baca juga: Oei Ing Kiat, Tokoh Muslim Tionghoa Penggerak Perang Kuning
Rombongan dari Batavia pun menyeberangi Sungai Losari tanpa kesulitan, hingga sampai di wilayah Mataram.
Sekitar akhir 1740, orang Tionghoa yang lolos dari pembantaian Batavia tiba di Lasem. Mereka diterima dengan baik oleh seorang priyayi, putra mantan Bupati Lasem, Raden Panji Margana.
Adipati Lasem yang baru, yakni Tumenggung Widyaningrat alias Ony Ing Kiat juga menerima para pengungsi dari Batavia ini dan menolong mereka. Dia adalah adipati keturunan Tionghoa pertama di Lasem.
Adipati Lasem itu mengizinkan mereka untuk membangun perkampungan-perkampungan baru di tepi Sungai Kamandung (Karangturi), Pereng, dan Soditan.
Pada saat itu, Lasem dan Semarang merupakan kota dengan jumlah penduduk keturunan Tionghoa terbesar di Nusantara.