Kondisi ini memicu dinamika kompleks dalam hubungan internasional, di mana negara-negara anggota PBB lain harus bernegosiasi dan mencari kompromi dengan lima anggota tetap agar mencapai tujuan bersama.
Implikasi dari sistem itu, yakni reformasi atau keputusan penting dalam kebijakan internasional sering memerlukan waktu yang lama untuk dicapai, mengingat kebutuhan mendapatkan persetujuan dari semua pemegang veto.
Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Shofwan Al Banna menuturkan, penghapusan hak veto anggota tetap Dewan Keamanan PBB bisa saja dilakukan.
Namun, dia menggarisbawahi, penghapusan baru bisa terwujud jika negara-negara yang memiliki hak istimewa sepakat untuk melepaskannya melalui sebuah konsensus.
Sayangnya, akan sulit bagi negara-negara yang memiliki hak veto untuk mau melepaskan hak istimewanya begitu saja.
Baca juga: Sebulan Konflik di Gaza, Ribuan Nyawa Melayang dan PBB yang Tak Berdaya
Kendati demikian, seruan untuk menghapus hak veto atau bahkan upaya reformasi di dalam tubuh PBB tak terpadamkan.
Misalnya, menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia 2005, Panel Tingkat Tinggi mengenai Ancaman, Tantangan, dan Perubahan menyerukan agar para anggota tetap berjanji untuk tidak menggunakan hak veto dalam kasus genosida dan pelanggaran HAM skala besar.
Pasca-KTT tersebut, sebuah grup terdiri dari Kosta Rika, Yordania, Liechtenstein, Singapura, dan Swiss yang menyebut diri sebagai Small Five (S5) secara aktif mendesak anggota tetap untuk tidak menggunakan hak veto untuk menghalangi tindakan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
S5 dibubarkan pada 2012, tetapi agenda dan sikapnya terhadap veto tetap diteruskan oleh Accountability, Coherence, and Transparency (ACT), sebuah kelompok lintasregional terdiri dari 27 negara kecil dan menengah.
Kelompok ini bertujuan meningkatkan efektivitas Dewan Keamanan melalui perbaikan metode kerja, termasuk memberlakukan pembatasan pada penggunaan veto.
Usaha pembatasan hak veto lainnya terjadi pada September 2014, ketika Prancis dalam Sidang Umum ke-69 bersama Meksiko berinisiatif mengadakan pertemuan tingkat menteri untuk membahas masalah ini.
Sama seperti upaya-upaya sebelumnya, pertemuan itu menghasilkan desakan terhadap anggota tetap agar secara sukarela dan kolektif berjanji tidak menggunakan veto dalam kasus genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang berskala besar.
Kendati demikian, hanya Inggris yang mendukung inisiatif pembatasan penggunaan hak veto oleh anggota tetap tersebut.
Isu mengenai hak veto kembali diungkit pada pertemuan Dewan Keamanan PBB pada 17 November 2023.
Banyak negara yang mengulangi pandangan mengenai perlunya membatasi penggunaan hak veto oleh anggota tetap.
Perwakilan Ukraina mengatakan, sangat tidak pantas jika sebuah negara yang memiliki keanggotaan tetap memiliki hak istimewa untuk menggunakan hak veto.
Terlebih, jika negara tersebut terlibat langsung sebagai pihak yang berkonflik atau menjadi penghasutnya.
Pembatasan penggunaan hak veto oleh anggota tetap seharusnya bukan hanya mencakup kasus genosida, tetapi juga harus mencakup konflik di mana anggota tersebut terlibat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.