Hari ini, dunia sedang mengagumi sosok bernama Elon Musk, yang dijuluki Leonardo Da Vinci abad 21.
Industrialis jenius nan kaya raya ini mengawali kariernya dengan kesenangan membaca buku yang sudah tertanam sejak kecil. Dia terbiasa membaca buku 10 jam per hari dan menamatkan dua judul buku tiap pekan.
Kalau kita bertanya kepada orang-orang besar, pasti mereka mempunyai buku yang telah mengubah arah hidupnya atau dianggap telah memantik arah pikirannya.
Dalam hal ini, alangkah benarnya apa yang dikatakan oleh Barbara Tuchman (1989) bahwa "buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, mercusuar yang dipancangkan di samudera waktu. Tidak ada buku tidak ada peradaban. Tanpa buku dunia ini beku."
Menyepelekan buku terlalu besar taruhannya bagi eksistensi bangsa ini. Maka, perhatikanlah, tanpa buku dunia akademik tidak lagi menjadi wahana pencerahan untuk mencari ilmu pengetahuan, tetapi hanya menjadi pabrik ijazah.
Identitas didewa-dewakan, tetapi kapasitas dinistakan, akhirnya lahirlah dari mulai sarjana pengangguran sampai pada profesor devaluatif.
Lembaga-lembaga riset seperti autis terhadap realitas dan hasil riset hanya menjadi paper yang menumpuk di laci para peneliti. Dunia penelitian berubah menjadi “pabrik makalah” yang banyak melahirkan masalah daripada inovasi atau solusi.
Kini banyak pejabat, akademis, dan politisi berlomba untuk memburu titel atau gelar-gelar akademis, sehingga perguruan tinggi ada yang berubah menjadi semacam supermarket penjual gelar dan ijazah.
Menurut riset justru semakin tiggi gelar, maka akan semakin tergantung kepada pemerintah alias semakin tidak mandiri.
Gelar-gelar akademik yang dahulu sangat berwibawa kini hanya pepesan kosong yang cenderung menipu masyarakat.
Apabila identitas tidak bersanding dengan kapasitas, maka hanya akan melahirkan absurditas. Itu semua terjadi karena manusia Indonesia tidak menghargai buku, tidak membaca buku, malah ada yang antibuku dengan membunuh banyak perpustakaan di lembaganya.
Jangan sekali-kali membiarkan buku! Karena dengan buku bangsa-bangsa besar lahir. Karena dengan buku daya saing bangsa tangguh.
Kata Bung Hatta buku akan membentuk karakter bangsa. Oleh karenanya, menentukan buku apa yang akan dibaca sangatlah penting.
Pesan yang tertulis dalam buku tidaklah bebas nilai, pasti bermuatan ideologi dari penulisnya. Melakukan validasi bahan pustaka pada era liberal seperti sekarang ini bukanlah pekerjaan ringan.
Semua pengarang, baik yang bermoral maupun tidak, bebas mengekspresikan pendapatnya melalui buku.