Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hendry Roris P Sianturi
Pengajar

Pengajar di Universitas Singaperbangsa Karawang, Lulusan Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia

Darurat Kekerasan Digital terhadap Pers

Kompas.com - 22/12/2023, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tentu hal ini menjadi paradoks, jika enggan menyebutnya sebagai kemunduran. Di tengah demokrasi berusia 25 tahun pasca-1998, pers di Indonesia masih dilanda ketakutan dalam memublikasi berita-berita kritis.

Di samping itu, ada dampak lain yang bisa muncul bagi jurnalis, yaitu masalah kesehatan mental, dan ketakutan ketika melakukan peliputan dan reportase di lapangan.

Special Report On The Seventh Roundtable Of The Safety Of Journalists Project yang diterbitkan Organization For Security And Co-Operation In Europe (OSCE) pada 21 November 2023, menyebutkan bahwa media hanya dapat memenuhi peran pentingnya dalam masyarakat demokratis ketika jurnalis dapat bekerja tanpa rasa takut akan serangan atau kekerasan.

Seharusnya praktik penyerangan digital terhadap media massa dan jurnalis diusut secara serius karena dapat dikategorikan sebagai kejahatan siber (cyber crime).

Kejahatan serangan digital terhadap pers telah menghalang-halangi kerja pers dalam menyampaikan informasi ke publik.

Hak publik mendapatkan informasi yang berkualitas, sesuai dengan amanah UUD 1945 pasal 28F, pun tidak bisa terwujud.

Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers pasal 18 ayat (1) sebenarnya sudah mengatur tentang sanksi bagi siapapun yang menghalangi kerja pers.

Beleid tersebut menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja-kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun, atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Dengan menggunakan Undang-Undang ini, penegak hukum harusnya mengusut secara serius. Meskipun faktanya, belum ada pelaku serangan digital kepada pers yang diusut secara serius. Padahal laporannya sudah menumpuk di meja aparat penegak hukum.

Oleh karena itu, media massa dan jurnalis tidak bisa bersandar dengan proses penegakan hukum sepenuhnya.

Saat ini pers di Indonesia juga harus melek tentang digital safety (keamanan digital). Penguatan kompetensi dan infrastruktur teknologi dan digital perlu ditingkatkan untuk memitigasi serangan digital.

Selama ini media massa dan jurnalis seringkali hanya melakukan mitigasi aspek gugatan hukum yang muncul dari pihak yang tertuduh pascapemberitaan.

Media massa dan jurnalis juga masih fokus pada aspek keamanan dan keselamatan jurnalis di dunia nyata.

Padahal di era serba digital, serangan maya juga tidak kalah seriusnya. Bahkan telah menjadi praktik pembungkaman demokrasi yang dilakukan secara tersistematis dan terorganisir.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com