Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pasutri di Jepang Tak Mau Hidup Bersama di Bawah Satu Atap demi Hindari Stres

Kompas.com - 03/10/2023, 07:00 WIB
Diva Lufiana Putri,
Farid Firdaus

Tim Redaksi

Dia pun bertanya, "Apakah pasangan yang tidak bahagia hidup bersama dalam satu atap harus terus melakukannya?"

Pasalnya, hal tersebut terdengar tidak menyenangkan untuk dilakukan.

Baca juga: Kisah Suami Istri di Jepang, Tak Berkomunikasi Selama Puluhan Tahun meski Tinggal Bersama dan Saling Cinta

Bertemu 2-3 kali seminggu

Dilansir dari Oddity Central, Jumat (29/9/2023), pasangan suami istri ini telah dikarunai seorang anak yang tinggal bersama Hiromi.

Mereka tercatat hanya bertemu dua hingga tiga kali seminggu, terutama saat Hiromi membutuhkan bantuan untuk mengurus anak.

Hiromi dan Hidekazu percaya bahwa "hidup bersama" tidak penting dalam pernikahan. Meski tak biasa, gaya pernikahan ini pun berhasil bagi keduanya.

Namun demikian, tak sedikit tetangga salah mengira mereka telah berpisah atau bercerai.

"Hidup bersama bukanlah suatu keharusan. Saya dan suami sama-sama puas dengan kehidupan kami saat ini," ujar Hiromi.

"Kami memilih menikah seperti ini agar merasa aman memiliki seseorang yang mendukung secara emosional, tetapi tetap dapat menjaga gaya hidup pribadi. Kita semua berhak memilih gaya hidup kita sendiri," tambahnya.

Baca juga: Sosok Jackie, Pria Jepang yang Mengaku “Trans-age”, Usia 39 Merasa 28

Pernikahan terpisah bawa hasil berbeda-beda

Dikutip dari Forbes, Selasa (13/6/2023), terdapat bukti ilmiah yang menunjukkan, hidup terpisah mungkin memiliki beberapa manfaat dalam memperkuat hubungan jangka panjang.

Misalnya, studi dalam The Sociological Review (2019) menemukan, hidup berjauhan dan kepuasan yang lebih besar akan pasangan dapat meningkatkan keinginan untuk hidup bersama di masa depan.

Kondisi tersebut juga dapat memberi pasangan sebuah gambaran yang lebih jelas tentang seperti apa pernikahan terbaik.

Namun, hubungan terikat tetapi terpisah cenderung membuahkan hasil berbeda-beda, tergantung tujuan sosial, budaya, dan pribadi orang-orang yang terlibat.

Studi yang sama menemukan, di negara-negara dengan keluarga lebih bersifat tradisional, seperti Rumania atau Bulgaria, orang-orang memandang hubungan seperti ini sebagai tahap peralihan sebelum menikah.

Sedangkan di negara-negara dengan struktur keluarga lebih modern seperti Perancis, masyarakatnya memandang hubungan ini sebagai alternatif dari pernikahan atau keluarga tradisional.

Baca juga: Cerita WNI Melahirkan di Jepang, Dapat Bantuan Uang Rp 43 Juta dan Biaya Pascapersalinan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com