Kuntoro mengatakan, menyiapkan lumbung pangan baru bukan hal yang instan untuk dilakukan dan dikelola.
Menurutnya, Kementan telah berupaya memperluas lahan pangan melalui program ekstensifikasi dan intensifikasi tanam juga telah dilakukan secara bersamaan di lokasi-lokasi food estate.
Selain itu, Kementan juga telah melakukan manajemen lahan, tata kelola air, dan menyiapkan benih unggul.
"Lahan ini bukan lahan seperti di Jawa, tapi kita butuh waktu meningkatkan kualitas lahan dan pertanaman di lokasi food estate," jelas dia.
Menurut dia, jika hanya berfikir memperkuat produktifitas lahan di Jawa saja, maka hal itu tidak akan cukup untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk.
Kendati demikian, Kunto menyatakan bahwa Kementan memiliki pengalaman panjang dalam menyiapkan dan pengolahan lahan marginal, seperti di Banyuasin, Sumatera Selatan.
Pihaknya juga menjelaskan, food estate merupakan upaya Indonesia untuk melepas ketergantungan impor pangan.
"Tidak mudah, dan pasti ada kekurangan tapi kita harus optimis. Presiden Jokowi dan Mentan juga sudah sampaikan berulang kali. Upaya pembenahan dan penyempurnaan program harus intensif dilakukan," ujarnya.
Baca juga: Bupati Humbahas Apresiasi Food Estate, Bisa Bangunkan Lahan Tidur
Proyek Food estate merupakan daerah yang ditetapkan sebagai lumbung pangan baru di Indonesia, dikutip dari Kompas.com (19/8/2023).
Lumbung pangan baru ini juga menjadi bagian dari Program Strategis Nasional (PSN) tahun 2020 hingga 2024.
Proyek food estate ini pertama kali disampaikan Jokowi dalam Sidang Tahunan MPR 2020.
Dalam pidatonya, Jokowi menyatakan rencananya untuk membangun food estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara.
Bahkan, Jokowi saat itu mengeklaim pengelolaan food estate akan menggunakan teknologi modern.
Food estate rencananya akan dibangun di beberapa wilayah Indonesia, yakni Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Papua.
Masing-masing lumbung pangan ini akan dikembangan dengan komoditas yang berbeda.
Di Gresik, Jawa Timur, misalnya, food estate akan berfokus pada pengembangan komoditas mangga dengan kombinasi intercropping jagung, kacang tanah, kacang hijau dan jeruk nipis, serta integrated farming jagung dengan sapi dan domba.
Baca juga: Ini Saran Bapanas untuk Program Food Estate agar Lebih Efektif
Kendati demikian, banyak ahli yang menganggap proyek tersebut memiliki dampak buruk bagi lingkungan.
Salah satunya adalah Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa.
Menurutnya, proyek food estate tidak menjawab persoalan pangan dalam negeri, tetapi justru berdampak pada deforestasi.
"Sejarah implementasi food estate di Tanah Air terbilang buruk. Kegagalan dari food estate yang pernah dijalankan pemerintah Indonesia adalah karena mengingkari kaidah akademis," kata Dwi, dikutip dari pemberitaan Kompas.com (4/3/2021).
Saat itu pemerintah dinilai banyak mengingkari kaidah akademis yang seharusnya menjadi perhatian.
Kaidah akademis yang dimaksud adalah kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan teknologi, kelayakan infrastruktur, serta kelayakan sosial dan ekonomi.
"Tata kelola air menjadi kunci utama dari pengembangan lahan pertanian. Hal ini termasuk ke dalam kelayakan infrastruktur yang berbiaya tinggi. Empat pilar tersebut harus dijamin dapat terpenuhi, jika tidak maka akan gagal food estate tersebut," jelas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.