Tidak hanya masalah bendungan dan konflik pemerintahan Libya, ketidakstabilan kondisi negara tersebut menambah masalah yang lebih besar setelah terjadi banjir.
Warga Libya pada Agustus lalu menyerukan protes atas kabar pertemuan rahasia antara menteri luar negeri Libya dan Israel. Mereka menuntut perdana menteri mundur.
Selain itu, pertempuran antara dua kelompok militer yang bersaing di ibu kota menewaskan paling tidak 45 warga di bulan yang sama.
Kelompok ini beranggotakan imigran ilegal asal Timur Tengah dan Afrika yang melarikan diri dari konflik dan kemiskinan di negaranya. Libya menjadi salah satu negara tempat transit bagi para penyelundup untuk melintas ke Eropa.
Sementara itu, kondisi ekonomi Libya juga tidak stabil. Minyak mentah merupakan ekspor utama negara tersebut. Namun, blokade dan ancaman keamanan menyebabkan produksi minyak mentah terhambat sehingga memengaruhi pendapatan warganya.
Di sisi lain, kota-kota di Libya belum banyak mengalami pembangunan kembali atau investasi sejak 2019. Sebagai contoh, wilayah Derna dibagun saat Libya masih dijajah Italia pada abad ke-20.
Akibatnya, kerusakan yang terjadi bisa menjadi bencana di negara tersebut. Rencana konstruksi besar-besaran baru dibuat tahun lalu.
Baca juga: Benarkah Kemunculan Oarfish ke Permukaan Tanda Akan Ada Bencana Alam?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.