Upacara itu dimaksudkan untuk menyambut hari Jumat, hari yang dimuliakan dan dalam pengertian masa kerajaan Mataram Islam disebut sebagai harinya raja.
Pada hari itu, Paku Buwono X akan keluar dari Keraton untuk melihat kondisi rakyatnya.
Baca juga: Konflik Keraton Surakarta, Terjadi Bentrok Dua Kubu Kerabat Keraton
Momen itu digunakan juga untuk mendekatkan diri kepada rakyatnya, salah satunya dengan membagikan udhik-udhik atau sedekah.
Awalnya, mereka yang menerima udhik-udhik menganggap bahwa pemberian sang Raja sebagai berkah yang tak ternilai.
Namun, dalam perkembangannya orang-orang yang menerima udhik-udhik itu disebut wong kemisan.
"Lambat laun, istilah tersebut berubah menjadi wong ngemis atau ‘orang yang meminta (minta),," jelas Ganjar.
Baca juga: Videonya Viral, Pengemis yang Pura-pura Lumpuh di Yogyakarta Akhirnya Ditangkap Polisi
Ganjar menambahkan, kata pengemis itu diperkirakan muncul pada 1890-an.
"Beberapa referensi menyebut kata itu muncul pertama kali di Koran Bromartani pada 1895 dalam berita kegiatan Kamis sore Pakubuwono X," kata dia.
Pemberian sedekah Pakubuwono X kepada wong kemisan ini juga tertulis dalam Serat Sri Karongron pada 1914.
Pada 1939, kata ngemis memiliki arti njaluk dana atau meminta bantuan dana.
Kemudian, pada 1939, kamus bahasa Melayu mencatat kata kemis (yang berarti hari), lalu menjadi kata ngemis, berkemis, pengemis.
Baca juga: Fakta dan Kronologi Keributan di Keraton Surakarta
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.