Teori lain juga menyatakan, mereka mungkin meninggal dengan cara lebih mengerikan, yaitu dehidrasi bertahap seiring suhu lingkungan yang meningkat.
Baca juga: Sekawanan Domba Bantu Arkeolog di Kota Kuno Pompeii, Apa Kontribusinya?
Sementara itu, merujuk penelitian dalam jurnal PLOS ONE, gelombang awal gas panas dari letusan gunung dapat mengubah otak manusia menjadi kaca.
Tim internasional yang tergabung dalam penelitian menganalisis sisa-sisa tujuh korban Pompeii menggunakan teknik inovatif bernama fluoresensi sinar-X portabel.
Dari sana, mereka menyimpulkan bahwa ketujuh korban kemungkinan besar meninggal akibat sesak napas.
Tim kemudian mempelajari tujuh gips yang dibuat dengan menuangkan plester atau campuran semen, pasir, kapur, dan air, ke dalam lubang kosong yang ditinggalkan mayat Pompeii.
Dengan menggunakan analisis sinar-X non-invasif, mereka dapat menentukan komposisi tulang korban serta membandingkannya dengan tulang terbakar dari kuburan di Roma dan Valencia.
Kesimpulannya, pembakaran tulang yang ditemukan di Pompeii terjadi setelah para korban meninggal dunia, mirip dengan prosesi kremasi.
"Ketika tulang mereka terkena dampak suhu tinggi yang disebabkan gelombang piroklastik dan arus magma, para korban sudah meninggal, kemungkinan karena menghirup gas beracun," kata penulis penelitian, Llorenc Alapont.
Baca juga: Arkeolog Temukan Kereta Kuno Romawi Berusia 2.000 Tahun di Pompeii
Saat ditemukan, beberapa jenazah korban Pompeii tampak menutupi tubuh dengan pakaian yang menunjukkan usaha untuk mencegah abu terhirup dan meninggal karena mati lemas.
Sebelum kematian, orang-orang pun menunjukkan gestur melarikan diri dengan tongkat dari dahan untuk membantu berjalan di atas lapisan batu apung yang berbahaya.
"Para korban, dalam upaya mereka untuk melarikan diri, mati lemas dengan sangat cepat dan juga dengan cepat tertutup abu," jelas Gallello.
Namun, para peneliti menekankan, temuan ini tidak berarti bahwa seluruh 2.000 korban Pompeii meninggal dengan cara seperti itu.
"Kemungkinan besar letusan dahsyat itu membunuh orang dengan cara yang berbeda-beda," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.