Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Adu Pendapat Tiga Bakal Capres soal Pendidikan di Indonesia, Apa Kata Mereka?

Kompas.com - 02/08/2023, 10:30 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Inten Esti Pratiwi

Tim Redaksi

"Tidak cukup pendidikan itu seperti 'pabrik' yang menciptakan orang untuk bekerja. Karena mereka dididik intelektualnya, emosionalnya, spiritualitasnya, sehingga kelengkapan manusia lebih baik," kata Ganjar.

Bakal capres dari PDI-P ini juga menyoroti maraknya perundungan atau bullying di sekolah.

Menurutnya, hal ini disebabkan oleh sekolah yang tak lagi menyenangkan dan membuat stres siswa.

"Sekolah kita itu bikin stres, datang besok gurunya marah, temennya mau bully, maka kerinduan untuk sekolah kemudian kurang. Maka sekolah mesti menyenangkan, besok dia rindu dengan gurunya, temennya," jelas dia.

Baca juga: Pesan Kekompakan dalam Persaingan 3 Bakal Capres: Anies, Ganjar, dan Prabowo

Anies Baswedan

Dalam kesempatan yang sama, Anies Baswedan memiliki pandangan tersendiri terkait pendidikan di Indonesia.

Anies menuturkan, pendidikan akan semakin baik jika para pendidik menempatkan dirinya sebagai seorang pemimpin di kelas, bukan mengajar.

Refleksi ini ia dapatkan ketika bertugas di Indonesia Mengajar.

"Memimpin itu kan paling mudah bila anak-anaknya mau ngikut dia. Anak SD itu jujur. Kalau membosankan, Anda ditinggalkan. Lain halnya kalau di sini (acara), membosankan masih dilihatin terus," jelas Anies.

Dengan para guru menempatkan diri sebagai pemimpin di kelas, maka akan tercipta interaksi antara leaders dan followers.

Selain itu, Anies juga menyoroti pendidikan di Indonesia yang hanya dianggap sebagai program dan dimonopoli oleh pemegang kewenangan.

Padahal, pendidikan semestinya menjadi sebuah gerakan, sehingga membuka ruang bagi siapa pun untuk terlibat di dalamnya.

"Jadi sekolah membuka ruang kepada masyarakat untuk terlibat, pengambilan kebijakan juga melibatkan para pegiat-pegiat pendidikan," kata mantan gubernur DKI Jakarta itu.

"Sementara kita menyaksikan bahwa yang dimiliki pemerintah itu dua, viskal dan otoritas. Yang tidak dimiliki itu inovasi, kreasi, pengalaman lapangan, jaringan," sambungnya.

Padahal, hal-hal itu dimiliki oleh para pegiat pendidikan.

Oleh karena itu, jika pendidikan dianggap sebagai gerakan, negara dalam hal ini pemerintah harus membuka ruang, mengajak semua pihak terlibat, dan berkolaborasi.

Ini membutuhkan kemauan dari sekolah, pemerintah, pemegang kewenangan untuk membuka diri dan tidak menempatkan diri sebagai pelaku terpenting.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com