Menurut Komaruddin, Islam tidak monolitik, terdiri dari banyak mazhab dan aliran pemikiran. Namun, ketiga pemikir tersebut tidak menekankan satu Islam yang kaku dan perlu terlembaga dalam formalisasi syari’at Islam.
Islam juga mesti beradaptasi dengan situasi dan kondisi sosial politik suatu zaman. Dalam Islam kita mengenal pengalaman Imam Syafi’i dengan apa yang disebut pemikiran terdahulu (qaul qadim) dan pemikiran terkini (qaul jadid).
Saat forum tanya jawab, sebagian penanya mengangkat persoalan Islam yang tidak monolitik dan bagaimana Islam dapat menjawab tantangan zaman, serta bisa sesuai dengan perkembangan. Para pembicara menjelaskan, Islam memang tidak tunggal dan banyak penafsiran yang tumbuh kembang terhadap sumber hukum Islam, yaitu Al Quran.
Ketiga sosok dalam buku itu tampaknya sepakat bahwa Islam mesti dipahami secara konstekstual, tidak secara literal, sehingga pemikiran yang muncul adalah pemikiran yang berpihak pada kemaslahatan manusia.
Saya bertanya, apakah ada perbedaan tantangan terkait pemikiran ketiga tokoh itu, khususnya ketika masih hidup dan setelah mereka meninggal? Syafi’i Anwar menjelaskan, pemikiran ketiga tokoh itu relevan untuk zaman kekinian. Saat ini terdapat kecenderungan menguatnya konservatisme Islam dan kehadiran gerakan Islam transnasional yang memperjuangkan corak pemikiran dan ideologi berbeda. Kelompok Wahabi salah satu yang cukup memengaruhi pemikiran masyarakat saat ini.
Persoalan lain yang diangkat para penanya adalah bagaimana menyosialisasikan pemikiran para tokoh itu kepada generasi muda. Para pembicara sepakat bahwa publikasi buku adalah bagian untuk melanggengkan pemikiran.
Sosialisasi kepada generasi muda memerlukan adaptasi dengan perkembangan kekinian sehingga diseminasi gagasan bisa mengambil banyak format, tidak hanya melalui dialog dalam bentuk bedah buku. Diseminasi bisa menggunakan media-media kekinian yang cocok dengan generasi Z.
Baca juga: Memaknai Jalan Sunyi Buya Syafii Maarif
Dalam hal ini, UIII adalah salah satu upaya pemerintah Indonesia mengenalkan wajah Islam Indonesia kepada dunia. Pemikiran ketiga tokoh tersebut dapat menjadi pemikiran fundamental yang perlu didiseminasikan secara luas. Buku itu mungkin dapat menjadi satu materi bacaan yang ada dalam mata kuliah Islam moderat yang wajib diikuti oleh mahasiswa UIII.
Untuk penyempurnaan buku itu, mungkin bisa menambahkan aspek gender dan beberapa ahli dari luar (indonesianis), seperti Robert Hefner dan Greg Barton, yang dibuat dalam versi Inggris sehingga membuka akses luas bagi pembaca non-Indonesia.
Saya berpandangan, pemikiran ketiga tokoh itu sangat kaya dengan nilai-nilai inklusif, modern, dan kosmpolitik. Mereka dapat dikelompokkan dalam kategori muslim progressif, yang merupakan antitesis pemikiran konservatif radikal yang berupaya memformalisasi syariah melalui negara dengan menggunakan penafsiran literal dengan mengabaikan pendekatan konstektual sehingga wajah Islam menjadi keras, beringas, dan tidak ramah terhadap perempuan dan kelompok non-muslim serta minoritas.
Revitalisasi pemikiran ketiga tokoh itu perlu dilakukan dengan diskusi dan format kekinian sehingga diseminasi gagasan tersebut bisa membangun sebuah masyarakat Indonesia yang inklusif, plural, dan humanis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.