Buku terbitan UIII dan penerbit buku Mizan itu melibatkan para akademisi Indonesia seperti Amin Abdullah, Haidar Baqir, Martin L Sinaga sebagai penulis. Editor buku itu Komaruddin Hidayat, cendekiawan muslim dan rektor UIII, dan Ahmad Gaus, penulis dan editor.
Tulisan ini merupakan catatan pandangan mata atas forum diskusi buku tersebut. Karena keterbatasan ruang, catatan ini mungkin tidak menampilkan keutuhan pandangan para pembicara dalam forum itu.
Syafiq Hasyim, direktur Perpustakaan UIII dan akademisi NU, menjadi moderator jalannya acara dalam bahasa Inggris. Sebagian besar mahasiswa S2 dan S3 UIII dan beberapa undangan, menghadiri acara itu.
Tampaknya, ke depan Perpustakaan UIII perlu memikirkan strategi dan taktik tertentu untuk menghadirkan lebih banyak pengunjung dari luar dan jurnalis.
Sejumlah penulis artikel dalam buku itu, seperti Syafi’i Anwar, Philips Vermonte, dan Komaruddin Hidayat menjadi narasumber dalam acara itu. Nina Nurmila, pakar gender, diminta memberi review terkait aspek gender dari buku yang didiskusikan.
Membela Pluralisme
Pembicara pertama adalah Syafi’i Anwar, akademisi lulusan Universitas Melbourne dan pengajar di UIII. Menurut Syafi’i, ketiga tokoh dalam buku itu, yaitu Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Syafii Maarif”, memperjuangkan islam modern dan kosmopolit. Secara khusus, mereka membela pluralisme, dalam arti perayaan keragaman dan kemajemukan.
Perlu saya tambahkan bahwa pluralisme di sini bukan sinkretisme dalam pengertian kelompok Islam konservatif dan radikal, yang mengharamkan pluralisme.
Dalam presentasinya, Syafi’i menjelaskan kedekatannya dengan Gus Dur sehingga dipercaya mengedit satu buku berjudul “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”. Syafi’i menekankan, inti pemikiran para tokoh tersebut adalah pembelaan terhadap pluralisme, termasuk kelompok minoritas.
Philips J Vermonte, pakar politik dan dekan Fakultas Ilmu Sosial UIII, menelisik pemikiran Gus Dur yang masih jarang dikaji, yaitu terkait politik luar negeri. Philips membahas background pendidikan, kiprah, dan pemikiran Gus Dur sebagai seorang aktivis civil society, yang kemudian menduduki jabatan politik tertinggi sebagai presiden.
Nina Nurmila, akademisi bidang gender, mendiskusikan aspek gender dalam pemikiran ketiga tokoh tersebut. Menurut Nina, buku ini tidak banyak mengulas aspek gender, dan hal yang mungkin perlu ditambahkan pada edisi revisi buku itu.
Komaruddin Hidayat menjelaskan bahwa ketiga pemikir itu menekankan satu Islam yang inklusif, modern dan kosmopolit. Islam ala Indonesia. Kehadiran Islam di tengah dominasi budaya Hindu dan Budha bersifat damai sehingga wajah Islam di Indonesia memiliki kekhasan, dengan nilai toleransi dan kerukunan yang bisa dijadikan sebagai satu inspirasi untuk aplikasi Islam dunia internasional, yang ramah dan cinta damai.
Islam Tidak Monolitik
Menurut Komaruddin, Islam tidak monolitik, terdiri dari banyak mazhab dan aliran pemikiran. Namun, ketiga pemikir tersebut tidak menekankan satu Islam yang kaku dan perlu terlembaga dalam formalisasi syari’at Islam.
Islam juga mesti beradaptasi dengan situasi dan kondisi sosial politik suatu zaman. Dalam Islam kita mengenal pengalaman Imam Syafi’i dengan apa yang disebut pemikiran terdahulu (qaul qadim) dan pemikiran terkini (qaul jadid).
Ketiga sosok dalam buku itu tampaknya sepakat bahwa Islam mesti dipahami secara konstekstual, tidak secara literal, sehingga pemikiran yang muncul adalah pemikiran yang berpihak pada kemaslahatan manusia.
Saya bertanya, apakah ada perbedaan tantangan terkait pemikiran ketiga tokoh itu, khususnya ketika masih hidup dan setelah mereka meninggal? Syafi’i Anwar menjelaskan, pemikiran ketiga tokoh itu relevan untuk zaman kekinian. Saat ini terdapat kecenderungan menguatnya konservatisme Islam dan kehadiran gerakan Islam transnasional yang memperjuangkan corak pemikiran dan ideologi berbeda. Kelompok Wahabi salah satu yang cukup memengaruhi pemikiran masyarakat saat ini.
Diseminasi Pemikiran
Persoalan lain yang diangkat para penanya adalah bagaimana menyosialisasikan pemikiran para tokoh itu kepada generasi muda. Para pembicara sepakat bahwa publikasi buku adalah bagian untuk melanggengkan pemikiran.
Sosialisasi kepada generasi muda memerlukan adaptasi dengan perkembangan kekinian sehingga diseminasi gagasan bisa mengambil banyak format, tidak hanya melalui dialog dalam bentuk bedah buku. Diseminasi bisa menggunakan media-media kekinian yang cocok dengan generasi Z.
Dalam hal ini, UIII adalah salah satu upaya pemerintah Indonesia mengenalkan wajah Islam Indonesia kepada dunia. Pemikiran ketiga tokoh tersebut dapat menjadi pemikiran fundamental yang perlu didiseminasikan secara luas. Buku itu mungkin dapat menjadi satu materi bacaan yang ada dalam mata kuliah Islam moderat yang wajib diikuti oleh mahasiswa UIII.
Untuk penyempurnaan buku itu, mungkin bisa menambahkan aspek gender dan beberapa ahli dari luar (indonesianis), seperti Robert Hefner dan Greg Barton, yang dibuat dalam versi Inggris sehingga membuka akses luas bagi pembaca non-Indonesia.
Saya berpandangan, pemikiran ketiga tokoh itu sangat kaya dengan nilai-nilai inklusif, modern, dan kosmpolitik. Mereka dapat dikelompokkan dalam kategori muslim progressif, yang merupakan antitesis pemikiran konservatif radikal yang berupaya memformalisasi syariah melalui negara dengan menggunakan penafsiran literal dengan mengabaikan pendekatan konstektual sehingga wajah Islam menjadi keras, beringas, dan tidak ramah terhadap perempuan dan kelompok non-muslim serta minoritas.
Revitalisasi pemikiran ketiga tokoh itu perlu dilakukan dengan diskusi dan format kekinian sehingga diseminasi gagasan tersebut bisa membangun sebuah masyarakat Indonesia yang inklusif, plural, dan humanis.
https://www.kompas.com/tren/read/2023/06/22/115541165/mengembangkan-islam-indonesia-yang-menginspirasi-dunia