Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Ahmad M Ramli
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Kedaulatan Negara di Ruang Digital

Kompas.com - 08/06/2023, 10:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JIKA saat ini kita bertanya aspek kehidupan apa yang tidak tersentuh teknologi digital? Kita mungkin cukup sulit untuk menjawabnya. Hampir semua sisi kehidupan tersentuh teknologi canggih, yang sudah sangat masif, masal, dan menjangkau berbagai strata, tak terbatas ruang dan waktu.

Perkembangan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dan teknologi digital pada umunya, secara signifikan juga berdampak pada konteks kedaulatan negara. Paradigma konservatif tentang kedaulatan negara, yang lahir sebelum fenomena disrupsi digital, memerlukan rekonstruksi konsep dan implementasi baru, khusunya terkait upaya negara dalam melindungi warganya dari ancaman cybercrime lintas teritorial.

Sebuah laporan penelitian berjudul Quantifying Sovereignty: A New Way to Examine an Essential Concept yang ditulis M Andrew Barnet dan dipublikasikan Harvard Library 2017, Universitas Harvard, telah mengingatkan tentang dominasi teknologi ini, yang akan memengaruhi kedaulatan negara secara signifikan.

Baca juga: Merawat Kemerdekaan dan Menjaga Kedaulatan Negara di Udara

Penelitian yang berfokus pada dua unsur indeks kedaulatan, yaitu de jure dan de facto itu, menemukan hubungan negatif yang signifikan, antara kedaulatan dan populasi. Hal ini mencerminkan bagaimana peran institusi internasional yang semakin meningkat dalam masyarakat modern.

Penelitian itu juga menunjukkan masa depan, saat kolaborasi tidak hanya penting tetapi juga perlu dilakukan. Hal menarik dari hasil penelitian Barnet adalah bahwa teknologi akan memainkan peran integral dalam membentuk abad ini.

Pemerintah negara memiliki pilihan untuk memutuskan bagaimana memanfaatkan dan mengelola teknologi. Barnet juga menyimpulkan bahwa masyarakat tempat kita hidup, didorong (dan dipengaruhi) oleh data.

Penelitian enam tahun yang lalu itu ternyata banyak kesesuaiannya dengan kondisi saat ini. Apalagi setelah berkembang pesatnya AI. Kita tahu AI saat ini dikembangkan di negara garis depan teknologi digital. Tetapi realitas menunjukan, dampaknya mencakup global.

Sebagai contoh, setidaknya ada 167 juta orang Indonesia yang setiap hari bersentuhan dan dikendalikan AI sebagai pengguna media sosial dan platform digital lainnya. Hingga Januari 2023, tercatat jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 167 juta orang, yang berarti 78 persen dari jumlah total pengguna internet di Indonesia yang mencapai 212,9 juta. Jumlah itu setara dengan 60,4 persen dari total populasi (DataReportal 9/2/2023).

Dalam tulisan saya sebelumnya juga dikemukakan bahwa AS dan Uni Eropa telah mewanti-wanti dampak buruk penggunaan AI untuk proses demokrasi. Dominasi AI dan teknologi digital pada umumnya semakin menemukan superioritasnya karena bersifat lintas teritorial.

Pelampauan batas-batas negara itu telah menjadi diskusi panjang para pakar, khususnya terkait dampaknya pada prinsip kedaulatan negara. Hal itu memunculkan paradigma baru yang disebut kedaulatan negara di ruang digital. Kedaulatan negara di ruang digital mengacu pada kemampuan suatu negara untuk menjaga dan melindungi kepentingan nasionalnya di dunia digital, yang secara langsung memengaruhi ekosistem negara tersebut.

Kedaulatan negara di ruang digital merupakan konteks baru kedaulatan negara, terutama saat dunia memasuki industri 5.0. Kedaulatan ini mencakup kewenangan negara melakukan pengaturan dan kendali atas perlindungan dan pemanfaatan infrastruktur telekomunikasi, data pribadi, big data, konten negatif, dan keamanan siber.

Kedaulatan negara juga bermuara pada kewenangan negara melindungi warga negaranya dari bahaya digital, dan dampak teknologi terhadap berbagai dimensi kehidupan baik virtual maupun fisik.

Baca juga: Kedaulatan Digital dan Tantangan Implementasi Kebijakan

Bagi Indonesia, menegakan kedaulatan negara di ruang digital merupakan keniscayaan. Fakta menunjukan bahwa teknologi ini telah menjadi komponen integral kehidupan faktual modern.

Pertukaran data yang masif dan konektivitas interaktif platform digital, yang melintasi batas-batas negara tanpa terkendala ruang dan waktu, adalah realitas yang mengharuskan kehadiran negara secara komprehensif.

Kedaulatan dan Yurisdiksi

Dilansir dari Development Co-operation Report 2021: Shaping a Just Digital Transformation, Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), kedaulatan digital membantu negara mempertahankan kendali atas pengambilan keputusan dan implementasi layanan mereka. Kedaulatan digital seharusnya tidak dapat dilepaskan dari prinsip kedaulatan negara untuk meningkatkan pengawasan terhadap platform digital.

Paradigma yang harus dibangun adalah negaralah yang memegang kedaulatan atas ruang digital dan bukan platform digital.

AS adalah contoh negara yang menguasai data. 

Sebagaimana dirilis Council on Foreign Relation European Union (CFR EU) pada 7 April 2023, dalam laporan berjudul Why the EU Should Stop Talking About Digital Sovereignty, bahwa gagasan kedaulatan digital menekankan ekosistem tertutup, sebagai solusi hilangnya kendali atas data dan teknologi.

Sebaliknya, konsep tanggung jawab digital menciptakan jalan bagi pihak-pihak tepercaya, untuk terlibat dengan pemerintah dalam sistem kemitraan dan kerja sama. Dalam laporan CFR EU tersebut dikemukakan, bahwa konteks kedaulatan digital dalam praktik saat ini telah menciptakan terlalu banyak kelemahan bagi Uni Eropa, termasuk tingkat ketergantungan digital yang tinggi, dan mengurangi kerja sama antara perusahaan dan pemerintah.

Dari realitas ini, Uni Eropa tampak mempersoalkan kondisi tidak dapat melayani tujuan yang lebih luas, untuk mempromosikan ruang virtual yang bebas, terbuka, aman, dan terlindungi.

Konsep dan pembenaran konteks ini telah bertolak belakang dengan gagasan dasar terkait tanggung jawab untuk melindungi masyarakat digital, infrastruktur, dan pengguna. Tampak bahwa Uni Eropa lebih cenderung berbicara tentang “tanggung jawab digital” dibanding “kedaulatan digital”, yang akan memungkinkan Uni Eropa menekankan perlunya pendekatan yang bertanggung jawab dan koperatif di ranah digital.

Baca juga: Partisipasi Telkom di Hannover Messe 2021 Dukung Kedaulatan Digital Indonesia

Kedaulatan negara saat ini memang menghadapi tantangan besar, khususnya saat memasuki industri 5.0. Sebagaimana dinyatakan Daniel Lee, dalam bukunya, "The Right of Sovereignty: Jean Bodin on the Sovereign State and the Law of Nations", yang dirilis Berkeley Letters and Science, University of California Berkeley ( 26/10/2021), bahwa kontribusi teoretis Bodin yang paling bertahan lama adalah tesisnya tentang kedaulatan yang dikonseptualisasikan sebagai kumpulan hak hukum, yang tak terpisahkan, yang membentuk sistem kenegaraan.

Kedaulatan negara secara internal adalah kekuasaan tertinggi di dalam negara, untuk mengatur fungsinya termasuk di ruang digital. Jika kita kaitkan dengan kondisi terkini, maka di ruang digital, pemerintah harus tetap memiliki wewenang mengatur kehidupan bernegara baik sosial, ekonomi, dan budaya, melalui hukum dan lembaga negara, serta perangkat lainnya tanpa intervensi negara dan pihak lain.

Negara juga memiliki hak dan wewenang untuk mengendalikan AI dan dampak platform digital secara ekstra teritorial. Mengantisipasi dampak AI, penting antara lain terkait pengaruhnya terhadap sistem demokrasi, ketersesatan opini, polarisasi, dan sikap publik tidak kondusif, akibat konten hoaks dan berita palsu.

Negara dalam hal ini perlu menjaga kedaulatannya, untuk bisa tetap mengatur, sesuai dengan prinsip hukum progresif transformatif, dengan pendekatan ekstra teritorial. Sifat ekstra teritorial ini relevan untuk menjangkau platform digital, maupun pelaku kejahatan yang berada di luar negeri.

Prinsip yurisdiksi ekstra teritorial memiliki relevansi dengan teori klasik, bahwa negara memiliki kedaulatan secara eksternal, berupa kekuasaan tertinggi suatu negara, untuk mengadakan hubungan dengan negara lain serta mempertahankan wilayahnya, dari ancaman yang berasal dari luar.

Negara dalam konteks ini dapat mengejar tanggung jawab hukum mereka yang merugikan negara atau warganya, yang dilakukan dari luar negeri, tetapi akibatnya dirasakan dan berdampak di dalam negeri.

Terkait yurisdiksi ekstrateritorial, seperti dikemukakan GT Felkenes dalam artikelnya, Extraterritorial Criminal Jurisdiction: Its Impact On Criminal Justice, Journal of Criminal Justice Volume: 21 Issue: 6 Dated: (1993), terdapat lima prinsip yaitu territorial principle, nationality, passive personality, protective, dan universality principles.

Hal Penting untuk Indonesia

Pertama, Indonesia sudah waktunya mengevaluasi berbagai regulasi dan kebijakan, agar secara penuh dapat mengawasi dan mengendalikan penggunaan internet, melindungi data pribadi, menjamin keamanan siber, dan meminimalisasi dampak negatif ruang digital seperti hoaks, dan berbagai bentuk cybercrime sebagai wujud kedaulatan negara di ruang digital.

Kedua, setelah UU Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) disahkan, perlu segera menetapkan peraturan pemerintah (PP) dan perpres tentang Lembaga Pelaksana Perlindungan Data Pribadi.

Kehadiran Lembaga Perlindungan Data Pribadi merupakan syarat mutlak efektifnya UU PDP. Karena pengawasan, pengenaan sanksi, hal-hal teknis, dan penyelesaian sengketa PDP, sangat tergantung pada lembaga ini.

Ketiga, kedaulatan negara di ruang digital erat terkait dengan kepasitas negara melindungi infrastruktur vital negara, seperti jaringan telekomunikasi, sistem keuangan, data kependudukan, sistem pemerintahan, dan layanan publik lainnya dari serangan siber.

Sebagai penutup, hal yang harus diperhatikan adalah regulasi dan kebijakan yang dibuat harus dapat menjaga keseimbangan antara kedaulatan negara di satu sisi, dan jaminan iklim kreativitas, kebebasan berekspresi, dan akses terbuka terhadap informasi dalam rangka demokrasi di sisi lain.

Kedaulatan negara di ruang digital harus tetap mendukung transformasi digital, inovasi, dan pertumbuhan ekonomi digital nasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com