KOMPAS.com - Setiap tanggal 21 April, seluruh wanita di Indonesia merayakan Hari Kartini. Tahun ini, Hari Kartini diperingati pada Jumat (21/4/2023).
Hari Kartini merupakan hari besar nasional untuk mengenang hari kelahiran tokoh emansipasi wanita, RA Kartini.
Perayaan Hari Kartini identik dengan pakaian tradisional, salah satunya kebaya. Hal ini lantaran kebaya identik dengan pakaian yang selalu dikenakan RA Kartini. Bahkan, RA Kartini menginspirasi munculnya model kebaya kartini di masa kini.
Lantas, bagaimana sejarah dan perkembangan kebaya yang identik dengan RA Kartini ini?
Baca juga: Mengapa Dinamakan Kebaya Kartini? Ini Asal Muasalnya
Pegiat batik, Dr. Rini Kusumawati menjelaskan bahwa buku The History of Java (1817) yang ditulis oleh Thomas Stamford Raffles menuliskan kalambi sebagai pakaian yang dikenakan penduduk lokal di Hindia Belanda.
Disebutnya, kalambi merupakan gaun longgar sampai ke lutut dengan kancing lengan panjang di pergelangan tangan. Pakaian ini hampir selalu berwarna biru, tidak pernah memiliki pola beraneka ragam.
Sementara itu, William Basil Worsfold sejarawan Inggris yang menulis buku A Visit to Java with an Account of the Founding Singapore menyebut masyarakat Jawa dan Singapura memakai pakaian bernama kabaia.
Kabaia berupa baju pendek yang ditutupi dengan semacam jubah yang ditutup dengan peniti. Untuk bawahannya, mereka memakai kain panjang bernama sarung yang diikatkan di pinggang dan menjuntai hingga tungkai kaki
Seiring waktu, tidak hanya masyarakat lokal yang memakai kebaya. Warga Eropa juga ikut memakai pakaian ini saat berada di daerah Hindia Belanda, seperti di Batavia.
Augusta de Wit menuliskan dalam buku Java, Fact and Fancies bahwa perempuan Eropa mengenakan kebaya putih yang dikaitkan dengan peniti emas. Kain panjang yang berwarna mencolok atau sarung dipakai hingga mata kaki untuk bawahannya.
Baca juga: Fakta Kebaya Didaftarkan Warisan UNESCO oleh Singapura dan 3 Negara
"Bentuk awal kebaya diyakini berasal dari Kerajaan Majapahit yang berkuasa hingga 1389," jelasnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (19/4/2023).
Indiah menjelaskan, saat itu, permaisuri dan selir Kerajaan Majapahit menutupi tubuh hanya dengan kemben. Ketika Islam masuk ke Nusantara, perempuan keraton mulai menutupi tubuhnya dengan kain tambahan dengan bentuk yang sekarang dikenal sebagai kebaya.
Selanjutnya, kebaya berkembang menjadi pakaian kebesaran perempuan keraton Jawa di abad ke-5. Bahan pakaian ini berupa beludru, sutra, ataupun brokat yang digunakan dengan bros dan kain panjang.
"Masyarakat biasa pun menggunakan kebaya dengan bahan lebih ringan semacam kain tisu atau sifon tanpa hiasan bros meski masih menggunakan kain panjang," lanjut Indiah.
Ia menjelaskan, perempuan Belanda yang tinggal di Tanah Air pada masa penjajahan juga kerap mengenakan kebaya dalam agenda resmi.
Mereka bahkan menjadikan pakaian ini sebagai identitas kasta. Hal tersebut dilakukan mengikuti para perempuan keraton yang saat itu memiliki derajat sosial lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat biasa.
"Meski tidak digunakan sebagai pakaian tradisional di semua daerah di Indonesia, kebaya di masa kini mampu menjadi penanda identitas bangsa," tegas Indiah.
Menurutnya, pakaian ini lebih populer dipakai oleh orang Jawa, Sunda dan Bali.
Lalu, pada tahun 1940-an, Presiden Soekarno resmi menetapkan kebaya sebagai pakaian nasional.
Indiah mengungkapkan bahwa kebaya sesungguhnya tidak hanya ada di Indonesia. Pakaian ini menjadi pakaian tradisional di Asia Tenggara, terutama di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura.
Di luar Asia Tenggara, kebaya juga dipakai oleh warga Jawa, Melayu, dan Portugis Eurasia yang tinggal di Kepulauan Cocos dan Pulau Christmas di Australia, pesisir India dan Sri Lanka, Makau, serta Afrika Selatan.
Baca juga: Kebaya di Belantara Politik
"Pakaian bagian bawah untuk melengkapi busana kebaya ini dikenal bisa berupa sarung, songket, kain tenun atau ikat, atau kain panjang batik yang dililitkan ke tubuh dan diperkuat dengan stagen atau angkin," jelasnya.
Ia menyebut, masyarakat umumnya mengenal dua jenis kebaya, yaitu kutubaru dan encim.
Kutubaru adalah model kebaya yang mengaitkan lipatan di bagian dada kiri dan kanan menggunakan bef atau kain penutup di bagian dada.
Sedangkan model kebaya encim tanpa bef dan biasanya dilengkapi renda atau bordir di bagian ujung badan dan lengan.
Untuk melengkapinya, rambut wanita yang memakai kebaya akan ditata dengan konde atau sanggul.
"Konde Jawa dipasang dengan jepit rambut, tusuk konde berornamen yang terbuat dari emas, perak atau besi," lanjut Indiah.
Indiah menambahkan, seiring perkembangan zaman, kebaya kontemporer bermunculan.
"Pakaian merupakan bagian dari budaya dan budaya bersifat cair, dinamis, dan mengikuti kebutuhan dari tuntutan lingkungan hidup dan tuntutan zaman," ujarnya.
Ia menyatakan bahwa saat ini kebaya kontemporer semakin diminati. Beda dari kebaya Jawa klasik, model baru ini tidak selalu berupa baju bukaan tengah yang ditutup dengan peniti. Bawahan kebaya juga tidak selalu berupa kain jarik atau berganti menjadi rok batik.
Menurutnya, kebaya kontemporer memang lebih praktis. Namun, sebaiknya dipakai dalam momen tertentu.
"Kebaya tradisional dengan pakemnya harus dijaga sesuai konteks," kata dia.
Meski begitu, ia menyebut kebaya kontemporer perlu dikenalkan kepada anak-anak. Hal ini dilakukan dengan harapan mereka tergerak mempelajari soal kebaya tradisional.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.