Pemerintah Indonesia juga mengesahkan sejumlah konvensi, protokol, dan kesepakatan multi-lateral tentang lingkungan, misalnya konvensi Stockholm tentang polutan organik (UU No. 19/2009), kesepakatan multilateral konservasi dan tatakelola ikan beruaya (UU No. 21/2009), pelarangan uji-coba nuklir (UU No. 1/2012), konvensi Rotterdam tentang bahan kimia dan pestisida berbahaya dalam perdagangan antar-negara (UU No. 10/2013), protokol Nagoya (UU No. 11/2013), asap lintas-batas ASEAN (UU No. 26/2014), Paris Agreement tentang Climate Change (UU No. 16/2016), dan konvensi Minamata tentang merkuri (UU No. 11/2017).
Penerapan peraturan-peraturan itu tentu saja melindungi nilai daya-dukung ekosistem menyediakan jasa-jasa sosial dan ekonomi bagi masyarakat. Degradasi lingkungan membatasi daya-dukung ekosistem dan merapuhkan ekonomi (Kumar, 2010) dan memicu risiko lapangan kerja pada ekstraksi sumber daya alam dan daya-dukung lingkungan, misalnya perikanan, kehutanan, dan pertanian.
Demokrasi harus taat-hukum (law abiding democracy) guna mengakui, menjamin, dan melindung hak-hak dasar rakyat khususnya lingkungan-hidup, bukan melayani beragam kepentingan oligarki-elite atau segelintir orang.
Tanpa penerapan prinsip-prinsip negara-hukum lingkungan-hidup, ketentuan UUD 1945 dan peraturan pelaksanaannya berisiko tidak efektif melindungi hak-hak lingkungan rakyat. Kita baca kesimpulan riset Johnston (2001:2-) : “Without the rule of law, there can be neither sustainable development nor environmental quality adequate for healthful living conditions.”
Kita baca pidato Soekarno, anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Juni 1945 di Jakarta: “Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?”
“Prinsip pertama, kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia….Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya! Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari Bumi yang ada di bawah kakinya,” papar Soekarno.
Ukuran kegagalan praktek demokrasi (kerakyatan) kita selama ini ialah jika memisahkan rakyat dari Bumi yang ada di bawah kakinya sebagai suatu sistem bernyawa (segenap bangsa dan tanah tumpah-darah).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.