Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Masalah Agraria dan HAM, Mengapa Tak Terpisahkan?

Kompas.com - 18/04/2023, 10:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

AWAL tahun 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kebijakan pencabutan sekitar 2.078 izin konsesi lahan tambang dan mineral. Pencabutan izin itu dalam rangka perbaikan tata kelola pertanahan serta sumber daya alam (SDA).

Berbagai konsesi perusahaan yang dianggap tidak produktif, tidak mempunyai rencana kerja, dan tanahnya diterlantarkan menjadi sasaran utama pemerintah dalam kebijakan pencabutan izin tersebut.

Pemerintah juga mencabut 192 izin di sektor kehutanan seluas 3.126.439 hektar, serta hak guna usaha (HGU) perkebunan seluas 34.448 hektar, yang setelah dilakukan penelusuran secara mendalam kini telah berstatus terlantar.

Langkah tersebut perlu diapresiasi. Maraknya konflik agraria yang terjadi di seluruh pelosok Tanah Air merupakan akibat beroperasinya perusahaan-perusahaan yang berperan sebagai pemilik konsesi lahan tersebut.

Baca juga: Staf Presiden Tinjau Lokasi Konflik Agraria di Siantar, Warga dan Kebun Diminta Hindari Bentrokan

Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, juga menyebut kasus-kasus konflik agraria merupakan kasus terbanyak kedua yang dilaporkan ke Komnas HAM hingga saat ini.

Urgensi penyelesaian berbagai kasus di sektor agraria juga merujuk pada laporan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2023, yang menyebutkan bahwa situasi agraria di Tanah Air sepanjang tahun 2022 menunjukkan tren letusan konflik agraria yang tidak kunjung berkurang, bahkan meningkat.

Secara umum, KPA telah merilis sejumlah kasus konflik agraria yang kini telah mencapai 212 kasus sepanjang tahun 2022. KPA bahkan menyebut, kebijakan Presiden Joko Widodo dalam mencabut izin konsesi lahan tersebut masih diragukan keefektifannya bila dikaitkan dengan penyelesaian masalah agraria.

Hal itu karena tidak ada kejelasan apakah kebijakan pencabutan izin dan konsesi tersebut berkorelasi dengan lokasi-lokasi yang selama ini menjadi episentrum konflik agraria, ataupun dilakukan atas dasar koreksi dari ketimpangan penguasaan tanah yang terjadi di Tanah Air.

Pencabutan juga ditakutkan dapat dijadikan sebagai jalan baru bagi korporasi lainnya untuk dapat memperbaharui izin dan konsesi yang semakin berpotensi memperparah konflik agraria di Indonesia.

Kasus-kasus perampasan dan penyerobotan tanah masyarakat, serta berbagai polemik dari konflik agraria yang masih terjadi hingga saat ini seperti tidak ada habisnya.

Problematika agraria di Indonesia tampaknya setali tiga uang dengan masalah penegakan hak asasi manusia (HAM). Tanah merupakan bagian dari Bumi kita yang menyangkut hajat hidup sebagian besar masyarakat. Tanah sangat berkaitan dengan identitas masyarakat, sumber penghidupan, hak ekonomi, dan sosial budaya, sehingga pemanfaatannya harus mendapatkan atensi dan pengawasan negara.

Hal itu tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3, yang menyatakan bahwa... bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk memenuhi amanat UUD tersebut, hak-hak individu atau kelompok masyarakat terhadap tanah harus dilindungi, dipenuhi, dan dihargai negara.

Memahami Urgensi Masalah Agraria

Agar dapat memahami urgensi masalah agraria, masyarakat perlu mengetahui mengapa problematika ini merupakan bagian dari permasalahan hak asasi manusia. Bila dikorelasikan dengan isu HAM, menurut Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR), terdapat beberapa aspek hak asasi manusia dalam isu agraria, di antaranya adalah pengentasan kemiskinan dan pembangunan, perdamaian, bantuan kemanusiaan, pencegahan dan pemulihan bencana, serta perencanaan kota dan pedesaan.

Selain itu, berdasarkan laporan dari FIAN International for the Hands on the Land for Food Sovereignty Alliance tahun 2017, terdapat beberapa faktor mengapa masalah agraria merupakan bagian dari permasalahan hak asasi manusia.

Pertama, masalah agraria dapat menimbulkan terjadinya kehilangan akses atau kendali masyarakat atas tanah dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya tanpa adanya proses formal, sehingga dapat menimbulkan konflik kepentingan yang berujung pada timbulnya kekerasan.

Baca juga: Bereskan Konflik Agraria Butuh Kepemimpinan Politik Jokowi

Kedua, realisasi pemenuhan atas hak asasi manusia bagi masyarakat membutuhkan akses, penggunaan, maupun kontrol atas tanah, karena di dalamnya juga berhubungan dengan hak atas pangan dan gizi, hak atas air dan sanitasi, hak atas kesehatan, hak atas perumahan, hak atas pekerjaan, hak untuk tidak dirampas penghidupannya, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya.

Hak-hak perempuan dan masyarakat adat juga berkaitan erat dengan akses terhadap tanah, ataupun sumber daya alam yang terkait.

Ketiga, masalah agraria berdampak pada hak-hak sipil dan politik di masyarakat, akibat adanya kekuatan yang bersifat asimetris antara pihak-pihak yang bersengketa. Hal ini seringkali berdampak pada tidak adanya mekanisme penyelesaian yang akuntabel, serta akses informasi terkait pertanggungjawaban yang tidak memadai oleh pihak masyarakat.

Uraian inilah yang dijadikan penulis sebagai acuan dalam menjelaskan urgensi masalah agraria sebagai bagian dari permasalahan HAM, sehingga perlu untuk ditelaah lebih jauh.

Pertama, timbulnya konflik kepentingan yang berujung pada timbulnya kekerasan. Sepanjang tahun 2022, KPA mencatat terjadi 497 kasus kriminalisasi yang dialami pejuang hak atas tanah di berbagai penjuru Indonesia.

Dari total korban tersebut, 471 orang di antaranya laki-laki dan 26 orang perempuan. Sebanyak 38 orang mengalami penganiayaan (26 laki-laki dan 12 perempuan), tiga orang tertembak (2 laki-laki dan 1 perempuan) serta tiga orang tewas (1 laki-laki dan 2 perempuan) di wilayah konflik agraria.

Hal itu menunjukkan model dan cara penanganan konflik agraria yang represif dan menggunakan kekerasan oleh pihak pemerintah dan aparat keamanan masih menyimpan sejumlah persoalan mendasar bagi potensi pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Air.

Kedua, perlunya akses, penggunaan maupun kontrol atas tanah dalam rangka merealisasikan pemenuhan atas hak asasi manusia bagi masyarakat. Terdapat koneksi antara kontrol atas tanah, dengan berbagai hak asasi yang melekat pada manusia.

Hak-hak tersebut meliputi hak atas pangan dan gizi, hak atas air dan sanitasi, hak atas kesehatan, hak atas perumahan, hak atas pekerjaan, hak untuk tidak dirampas penghidupannya, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya, hak perempuan, dan hak masyakarat adat.

Hal itu menyimpulkan bahwa kehilangan kontrol atas tanah oleh sekelompok masyarakat, berarti sama dengan menghilangkan hak asasi manusia sekelompok masyarakat secara kolektif, yang dapat menimbulkan masalah serta krisis multidimensi.

Ketiga, adanya kekuatan yang bersifat asimetris antara pihak-pihak yang bersengketa dalam konflik agraria. Konflik antara kekuatan yang sifatnya asimetris (memiliki perbedaan kekuatan yang sangat jauh), antara pihak yang kuat melawan golongan yang lemah seringkali terjadi dalam masalah agraria.

Contoh kasus yang dapat diidentifikasi salah satunya lewat artikel yang ditulis Sholahudin, Siahaan, dan Wiratraman berjudul "Analisis Relasional Hukum Negara dan Hukum Rakyat dalam Konflik Agraria Bongkoran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia" pada tahun 2020 (Neliti.com).

Artikel itu mengidentifikasi adanya relasi hukum dalam konflik agraria di Bongkoran yang bersifat asimetris, dan mengakibatkan kuatnya dominasi dan hegemoni hukum negara di atas hukum rakyat. Pola asimetris ini tentu merupakan bentuk ketidakadilan, yang juga banyak ditemukan dalam berbagai kasus pelanggaran HAM di berbagai negara.

Meskipun demikian, hingga saat ini masih terdapat perdebatan dalam diskursus masalah agraria, di mana terdapat pertentangan antara konsep hak atas tanah dan hak asasi manusia, sehingga kedua konsep tersebut perlu diberikan pembedaan secara jelas dari perspektif hukum.

Hak atas tanah mencakup hak untuk memiliki, mengakses, menggunakan, mengelola atau bertransaksi atas kepemilikan sebidang tanah tertentu. Hak asasi manusia, di sisi lain, melindungi hak-hak fundamental yang melekat pada martabat manusia, dan diakui oleh hukum internasional dan konstitusi negara.

Di tengah pertentangan antar kedua hak tersebut, kepentingan bersama harusnya lebih diutamakan di dalam implementasinya. Tanah memiliki arti penting dalam kehidupan manusia karena tanah mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset.

Sebagai social asset, tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan.

Sebagai capital asset, tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan obyek spekulasi. Di satu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, secara lahir, batin, adil, dan merata, sedangkan di sisi lain harus dijaga kelestariannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com