Ini dilatarbelakangi oleh kegelisahannya sewaktu duduk di sekolah dasar ketika melihat ketidakadilan yang dialami oleh bibinya, seperti diberitakan Harian Kompas, 16 April 1988.
Baca juga: Kereta Api Pertama di Sulawesi, Apa Bedanya dengan KA di Jawa?
Kegelisahan itu diungkapkannya dalam buku Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan (1981):
Bibi saya pulang ke tempat orang tuanya untuk istirahat karena belum sembuh dari sakitnya. Tak lama ia menerima surat talak dari suaminya tanpa diberi alasan.
Ia tidak dapat memprotes. Kemudian ia mendengar bahwa ia ditalak karena tidak dapat memberi keturunan kepada suaminya. Dalam hati timbul pikiran, mengapa demikian nasib bibi saya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Baca juga: Mengenal Marie Thomas, Dokter Perempuan Pertama di Indonesia
Peristiwa itu kemudian mendorongnya untuk melindungi seorang istri dari ketidaksemena-menaan suami.
Pada Kongres Perempuan Indonesia kedua, Maria Ulfah mulai menyuarakan cita-citanya mengenai perlindungan wanita yang telah menikah.
Ia pun mengusulkan pembentukan suatu biro konsultasi perkawinan.
Maka, dibentuklah Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) dan Komisi Perlindungan Kaum Perempuan dan Anak Indonesia (KPKPAI).
Dalam Kongres Perempuan Indonesia ketiga, KPKPAI diakui kongres dan diberi nama baru menjadi Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan (BPPI).
Meski namanya mungkin tak sebesar RA Kartini dan Dewi Sartika, tapi jasa Maria Ulfah untuk negeri tak perlu diragukan, khususnya dalam memperjuangkan nasib perempuan.
Baca juga: Mengenang Sosok Marsinah, Aktivis Buruh yang Tak Mau Mengalah pada Nasib
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.