Sejarawan mencatat Sungai Tigris berwarna hitam karena begitu banyak buku yang dibakar saat serangan spektakuler tentara Hulagu Khan.
Kemudian, berlanjut dengan ditemukannya mesin cetak di Eropa mempercepat laju distribusi pemikiran komunitas mereka ke seluruh penjuru dunia hingga hari ini.
Faktor lain juga, yakni konflik internal dalam pemerintahan Islam. Syekh Said Ramadhan Al-Buthi, seorang ilmuwan Suriah di bidang ilmu-ilmu agama Islam juga menilai di tengah hegemoni peradaban Barat, umat Islam sedikit demi sedikit kehilangan jati dirinya yang dampaknya adalah umat Islam tidak mengenali lagi peradabannya.
Yang dapat kita pelajari dari sejarah gemilang peradaban Islam dan kemajuan sains teknologi pada masa itu, utamanya pada era Abbasiyah adalah keterbukaan dan toleransi.
Jika tak ada penerjemahan buku-buku dari zaman Yunani Klasik mungkin tak akan ada ibn Sina, al-Kindi, ataupun al-Farazi.
Begitupun jika pemerintah tidak mendukung para ilmuwan dan anak mudanya untuk mempelajari beragam bahasa, menerjemahkan, dan mencatatnya, proses akulturasi dan kekayaan intelektual maka kita tidak akan merasakannya hari ini.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbanyak, perlu menjadikan sejarah emas itu sebagai catatan dan pelajaran penting.
Sejarah telah membentangkan bagaimana kegemilangan sains dapat terwujud, juga faktor-faktor yang menyebabkan kemundurannya.
Jika kita bisa berkaca dari peristiwa itu, dan membuka diri untuk belajar, berkonstribusi secara sosial apapun bidang kita, bukanlah hal yang mustahil era gemilang sains dan teknologi dapat terulang kembali.
Islam di Indonesia menjadi unik dan menarik karena mampu hidup di tengah keragaman suku, ras, adat dan budaya. Terjadi akulturasi serta meresap dalam pergaulan sosial sebagian besar masyarakat Indonesia, baik berbentuk norma sosial maupun tradisi.
Hal ini yang menjadi atensi kami, sebagai Tim Satgas Digital Masjid Agung Sunda Kelapa berkolaborasi Universitas Islam Internasional Indonesia melaksanakan kegiatan Muslimverse: Konektivitas Pemuda terhadap Wacana Islam Global selama 2 hari, yakni 23-24 September 2022, di Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK), Menteng, Jakarta Pusat.
Sebanyak 50 peserta yang hadir berdiskusi langsung dengan para tokoh-tokoh penting Islam di Indonesia hingga para intelektual dari UIII.
Beragam topik pun dibahas termasuk bagaimana penetrasi teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari mendorong terciptanya demokratisasi informasi.
Betapa pentingnya generasi muda Islam Indonesia mampu menghadapi tantangan zaman dengan mengakar pada nilai-nilai Islam serta berpegang teguh pada identitas keindonesiaan.
Salah satu yang menjadi catatan penting adalah ketertinggalan kita pada bidang pengetahuan, terutama cendekiawan Muslim yang bisa dilihat dari para peraih Nobel.
Jika kita secara kolaboratif dari berbagai bidang terus bergerak, penghargaan Nobel sebagai salah satu standar dalam bidang kedokteran, fisika, kimia, sastra, dan perdamaian bukan tidak mungkin akan didominasi oleh kelompok Islam.
Seperti diketahui, peraih penghargaan nobel terbesar dipegang oleh Kristen (68,3 persen), Yahudi (20,8 persen), Islam (1,3 persen), Hindu (0,8 persen), dan Budha (0,4 persen).
Dalam kategori Islam, ada tiga orang yang pernah menang, yakni Abdus Salam (1979) di bidang Fisika, Ahmad Zewail (1999), dan Azis Sancar (2015) di bidang Kimia.
Capaian mereka harus dilanjutkan oleh kita sebagai pemuda Islam di Indonesia, sebagai negara dengan 87 persen penduduknya Muslim dan 12,5 persen penduduk Islam terbesar di dunia. Semoga!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.