Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Pemilihan Umum atau Pemilihan Khusus?

Kompas.com - 28/01/2023, 09:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TANPA terasa, waktu terus bergerak entah maju atau mundur, yang pasti makin mendekat ke masa penyelenggaraan pemilihan umum yang secara konstitusional wajib diselenggarakan tahun 2024. Meski berbagai pihak dengan berbagai alasan, termasuk alasan yang sempurna melanggar konstitusi, ingin pemilu 2024 ditunda. Semua itu wajar sebab pro-kontra di alam demokrasi merupakan kewajaran.

Terlepas dari pro dan kontra, pemilihan umum dianggap sebagai bagian hakiki yang melekat pada sistem demokrasi. Bahkan istilah pemilihan umum diberi gelar lebih atraktif yaitu pesta demokrasi.

Selayaknya pesta, apalagi pesta demokrasi yang berarti pesta yang diselenggarakan oleh rakyat untuk rakyat maka yang ikut berpesta adalah seluruh rakyat. Sayang setriliun sayang, kenyataan tidak seindah harapan karena terbukti tidak seluruh rakyat diperbolehkan ikut berpesta.

Baca juga: 6 Asas Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia

Ada cukup banyak peraturan secara konstitusional sengaja direkayasa demi membakukan syarat-syarat ambang batas yang harus dipenuhi seluruh rakyat untuk diperbolehkan ikut memilih pada pemilihan umum.

Misalnya ambang batas usia yang harus terpenuhi demi boleh ikut pemilu adalah minimal 17 tahun atau sudah/pernah menikah, yang pada praktiknya cukup mudah dimanipulasi dengan apa yang disebut sebagai kawin siri maupun mereka yang kawin sebelum berusia 17 tahun, atau masyarakat adat yang tidak melarang perkawinan sebelum usia 17 tahun.

Di samping masalah ambang batas usia juga ada masalah ambang batas lain, yaitu rakyat yang berhak ikut pemilu bukan hanya para pemilih tetapi juga mereka yang ingin dipilih untuk menjadi mulai dari kepala desa sampai ke presiden. Sayang setriliun sayang, makna demokratis benar-benar diabaikan pada apa yang disebut presidential threshold alias ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden yang sementara ini dibekukan pada persentase 20 persen.

Menarik adalah fakta bahwa sudah diakui para pendukung undang-undang presidential threshold, bahwa peraturan sengaja dibuat untuk secara khusus membatasi hak rakyat mencalonkan diri menjadi presiden. Presidential threshold jelas mempersulit rakyat mencalonkan diri untuk menjadi presiden selama yang boleh mengajukan capres hanya parpol, bahkan parpol yang memperoleh minimal 20 persen suara rakyat pada pemilu sebelum pilpres dilaksanakan.

Maka wajar apabila naskah ini dianggap sampah oleh para pendukung presidential threshold 20 persen. Dengan kenyataan yang secara de facto maupun de jure presidential threshold membatasi sifat umum sehingga menjadi khusus, maka perlu ditinjau kembali apakah istilah pemilihan umum masih relevan.

Baca juga: Mau Usung Capres Alternatif, Partai Buruh Bakal Gugat Presidential Threshold ke MK

Selama ambang batas 20 persen secara khusus memang tetap ingin khusus dipaksakan hadir pada penyelenggaraan pemilih umum maka agar lebih jujur, selaras kenyataan, sebaiknya istilah pemilihan umum diganti menjadi pemilihan khusus.

Sebenarnya para pendukung presidential threshold 20 persen tidak perlu was-was apalagi alergi atas saran istilah pemilihan umum diganti menjadi pemilihan khusus. Pada hakikatnya istilah pemilihan khusus malah mempermantap makna khusus yang terkandung dalam presidential threshold, yang memang sengaja secara khusus dibuat demi membatasi hak rakyat untuk mencalonkan diri sebagai capres.

Merdeka!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com