Nilai numerik diberikan pada setiap respons untuk menyimpulkan apakah orang tersebut mengatakan yang sebenarnya, menipu, atau tidak pasti.
Tes seperti ini konon pertama kali dilakukan pada abad ke-19 oleh kriminolog Italia Cesare Lombroso, yang menggunakan mesin untuk mengukur perubahan tekanan darah tersangka kriminal selama interogasi.
Perangkat serupa kemudian dibuat oleh psikolog Amerika William Marstron pada tahun 1914, dan oleh petugas polisi California John Larson pada tahun 1921.
Tes poligraf tidak terbukti secara ilmiah memiliki tingkat keberhasilan 100 persen, dan juga tetap diperdebatkan di bidang medis.
Namun, baru-baru ini, agen investigasi berusaha menggunakan tes ini dalam investigasi, dan tes ini terkadang dipandang sebagai alternatif yang lebih ringan dari penyiksaan atau "tingkat ketiga" untuk menggali kebenaran dari tersangka.
Hasil tes tidak dapat dianggap sebagai pengakuan.
Namun, informasi atau materi apa pun yang kemudian ditemukan dengan bantuan tes yang diambil secara sukarela dapat diterima sebagai bukti, kata Mahkamah Agung, dalam 'Selvi & Ors vs State of Karnataka & Anr' (2010).
Sehingga jika seorang terdakwa mengungkapkan lokasi senjata pembunuhan selama pemeriksaan, dan polisi kemudian menemukan senjata di lokasi tersebut, pernyataan terdakwa tidak akan menjadi bukti, tetapi senjatanya.
(Sumber: Kompas.com/Irfan Kamil | Editor: Diamanty Meiliana, Novianti Setuningsih)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.