Bijih sulfida memang sangat cocok untuk proses pirometalurgi, karena kadar bijihnya relatif tinggi dan kadarnya mudah dikonsentrasikan dengan flotasi. Saat ini bijih sulfida merupakan sumber utama produk kelas 1 dengan kemurnian tinggi.
Bijih limonit biasanya diproses melalui proses hidrometalurgi seperti HPAL (high-pressure acid leaching), karena mudah untuk melindi nikel yang diserap dari tanah liat dan memiliki lebih sedikit magnesium.
Sementara, untuk sumber daya laterit terbentuk oleh pelapukan dalam suhu tinggi dan iklim lembab. Tanah bagian atas yang lebih lapuk disebut limonit, dan tanah bagian bawah yang kurang lapuk disebut saprolit. Nikel terutama diserap dalam tanah liat dalam bijih daripada mineral.
Saprolit memiliki kadar yang relatif lebih tinggi (1,8-3,0 persen) dibandingkan limonit (0,8-1,8 persen). Karena perbedaan ini, metode produksi produk nikel dan pemurniannya berbeda di setiap negara, tergantung jenis bijih nikelnya.
Bijih saprolite umumnya tidak cocok untuk produk kelas 1, dan lebih cocok digunakan untuk memproduksi produk kelas 2, misalnya feronikel dan besi kasar nikel.
Inilah gambaran bahwa prospek pasokan nikel begitu beragam. Pasar nikel secara keseluruhan kemungkinan akan tetap dipasok dengan pertumbuhan positif, tetapi gambarannya menjadi sangat berbeda untuk nikel kelas 1.
Saat ini produksi nikel kelas 1 sedikit surplus, tetapi peningkatan pesat dalam permintaan baterai membuat nikel kelas 1 berpotensi defisit di masa depan karena akan semakin diperebutkan.
Secara umum, sumber daya sulfida sangat cocok untuk memproduksi nikel kelas 1 baterai. Namun, sebagian besar pertumbuhan produksi di tahun-tahun mendatang diperkirakan akan datang dari daerah dengan sumber daya laterit dalam jumlah besar, seperti Indonesia dan Filipina, yang umumnya lebih cocok untuk produk kelas 2.
Dengan demikian, HPAL mendapatkan daya tarik sebagai cara untuk menghasilkan produk kelas 1 dari sumber daya laterit.
Lima proyek hidrometalurgi yang sedang dikembangkan di Indonesia semuanya menggunakan HPAL.
Hal ini perlu dicermati dan sekaligus ini menjadi tantangan. Pertama, proyek HPAL sebelumnya memiliki rekam jejak pembengkakan biaya dan penundaan proyek.
Kedua, HPAL secara teknis sulit dioperasikan secara stabil, karena HPAL memproses bijih berkadar rendah di bawah suhu dan tekanan tinggi.
Ketiga, karena HPAL menggunakan asam untuk melepaskan logam dari endapan, fasilitas produksi asam diperlukan di lokasi, yang menimbulkan biaya tambahan. Biaya modal untuk proyek-proyek HPAL biasanya lebih dari dua kali lipat biaya untuk smelter konvensional untuk bijih oksida.
Keempat, proyek HPAL cenderung memakan waktu empat hingga lima tahun untuk meningkatkan kapasitas hingga 80 persen (BloombergNEF, 2020).
Rekam jejak masa lalu HPAL benar-benar harus menjadi pelajaran penting untuk prospek-proyek HPAL Indonesia yang sedang dijalankan. Proyek direncanakan untuk memanfaatkan infrastruktur yang ada, yang dapat membantu mengurangi biaya modal.