Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Kilah-berkilah di Negeri (Bukan) Bedebah

Kompas.com - 14/10/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tawaran menjadi calon penguasa negeri dari sebuah partai begitu menggoda sehingga alpa akan masa tugasnya sebagai penguasa wilayah belumlah berakhir. Jika mau bersabar, hanya hitungan hari sebetulnya jabatan prestise itu akan usai.

Akan lebih elok jika menerima kepercayaan besar saat sudah purna tugas. Bisa jadi, urusan patut-mematut menjual pesona dan prestasi menurut versinya ketika masih berdinas dianggap bisa menarik simpati massa.

Hitung-hitung memanfaatkan jabatan untuk menggapai jabatan yang lebih tinggi lagi. Kini warga yang akan ditinggalkannya akan mengenangnya sebagai pewaris pengubah kata “sakit” menjadi “sehat” di seluruh tempat pengobatan di daerahnya.

Pengubah nama jalan yang telah terpatri lama dalam lembar-lembar dokumen resmi menjadi nama-nama baru. Pasti setiap warga yang tinggal di rumah bersusun akan mengingatnya sebagai penggagas uang muka nihil persen dan pencanang lomba “kebut-kebutan” mobil listrik yang sepi sponsor tapi dipuja setengah mati.

Saya khawatir kalangan muda kita kelak tidak bisa lagi membedakan mana “besi” dan mana “loyang” ketika terpaan kabar sesat yang masif dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dunia media sosial – entah benar atau tidak - menjadi sebuah kitab pembelajaran tanpa terbantahkan.

Kita begitu krisis kepemimpinan dan keteladanan di saat ada lagi wakil pemimpin wilayah yang tidak risih akan mendapat kendaraan dinas berharga fantastis saat rakyatnya banyak yang hidup susah.

Sang wakil berkilah adalah hal yang “wajar” jika setiap orang menginginkan sesuatu termasuk dirinya untuk menunggangi mobil seharga Rp 1,7 miliar.

Jika seperti itu pola pikirnya, tentunya rakyat miskin yang dipimpinnya harus bisa meyakini bahwa sang wakil akan mengunjunginya lengkap dengan kendaraan dinas baru untuk memeriksa derajat kemiskinan yang dialami rakyatnya.

Sebelumnya, sang wakil juga kerap berujar kontroversial seperti ketika menggagas perlunya poligami sebagai katup pengaman penyebaran penyakit kelamin menular.

Tragedi Kanjuruhan, matinya nurani

Kejadian tragis memilukan terjadi di arena yang seharusnya mempertontonkan sportivitas. Sebanyak 132 nyawa penonton terengut karena kalut gas air mata yang ditembakkan petugas pengaman.

Semua marah, tidak saja korban selamat tetapi sang penguasa terwahid di Republik ini hingga mengundang keprihatinan dari badan sepak bola dunia. Di saat tim pencari fakta mengurai asal muasal tragedi maka semua kalangan yang terlibat saling berkilah.

Si pengaman menganggap langkah penertiban suporter sudah sesuai prosedur. Pihak pengaman merasa tidak bersalah menembakkan gas air mata walau organisasi sepak bola dunia melarang penggunaannya dalam stadion.

Tidak peduli gas air mata itu kadaluarsa atau tidak, yang penting telah ditembakkan untuk menertibakan penonton. Penyelenggara lokal mengaku sudah berbuat maksimal walau karcis yang terjual jauh melebihi daya tampung stadion.

Pihak pengatur liga pusat yang memaksa pertandingan harus tetap berjalan menyalahkan stasiun layar kaca yang menyiarkan pertandingan. Sementara pihak stasiun televisi berkilah tidak pernah memaksa penyelenggara untuk mempertandingkan sepakbola di malam hari.

Persoalan semakin runyam ketika petinggi perkumpulan sepak bola nasional menolak mundur karena menilai kesalahan bukan berada di pihaknya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com